Skip to main content

Taman Bukit

Satu lagi cerpen abal yang gue tulis di saat kurang kerjaan. Sebenernya bikin cerpen ini niatnya mau coba nulis yang unyu - unyu gitu. Eh terus gue ikutin aja cerpen ini ke lomba yang bertemakan unyu - unyu. Dan hasilnya... *jengjengjeng* gue ga lolos seleksi! *cukup sekali, udah dramatis kok* Sepertinya gue emang ga bakat bikin yang unyu - unyu. Entah kenapa selalu failed gitu -.- Oke deh, daripada lama - lama, selamat membaca! Komen sangat di terima~
PS: typo di cerpen ini telah dibetulkan sehingga mungkin berbeda dgn versi awalnya~ *plak!
-ran



Hujan turun membasahi sebagian besar wilayah kota. Jalanan padat merayap, penuh dengan mobil – mobil karyawan kantoran yang hendak pulang menuju rumahnya masing – masing. Aku sendiri, terjebak kemacetan sepanjang jembatan ini. Bus yang kutumpangi hanya jalan perlahan – lahan. Bus telah penuh sesak oleh penumpang. Tak lama, seorang pengamen masuk ke bus dan mulai bernyanyi. Mencari sedikit rezeki dari bus kota ini. Duduk dekat jendela, kupandangi jalanan di bawah sana. Kerlap – kerlip lampu mobil menambah ramainya suasana kota di senja hari ini. Alunan lagu dari si pengamen menyatu dengan merdunya gemericik tetesan hujan serta indahnya kerlap – kerlip lampu, membawa pikiranku terbang, kembali ke masa lalu…
***
“Ryooo! Kita main petak umpet, yuk!”
“Aku gak mau, bosan tau. Memangnya gak ada permainan lain?” jawab Ryo sinis. Aku hanya diam.
“Ya sudah, main sama kakak saja. Kamu ngumpet nanti kakak yang jaga, ya. Jangan sampai tertangkap oleh kakak, lho!” sahut Kak Rizky sambil mengendipkan matanya. Aku segera berlari mencari tempat persembunyian.
Begitulah… Masa kecil yang kuhabiskan bersama tetangga dekat rumahku. Dua bersaudara, Kak Rizky dan Ryo. Sosoknya yang dewasa, baik, sering tersenyum padaku, membuatku begitu mengidolakan Kak Rizky. Berbeda sekali dengan Ryo. Kami hampir selalu bertengkar setiap harinya. Dia menyebalkan, sering kali membuatku marah dan menangis. Mereka dua bersaudara yang begitu bertolak belakang.
Namun seiring waktu berjalan, justru kami menjadi dekat. Dia selalu ada saat aku membutuhkan teman maupun tidak, selalu hadir saat aku minta dia mendengarkan ceritaku, rela membiarkan bahunya basah saat aku sedang menangis. Dia selalu bisa menenangkanku. Dia sahabat terbaik yang pernah kumiliki.
***
Kami bersekolah di tempat yang sama saat SMP. Walaupun tidak pernah satu kelas, kami masih tetap saling mengunjungi rumah satu sama lain di sore hari. Tidak untuk bermain petak umpet tentunya. Tetapi untuk belajar bersama. Dia pun mulai sedikit berubah menjadi sedikit lebih peduli terhadapku, hanya sedikit.
“Hari ini kita mau belajar apa?”
“Kita gak perlu belajar dulu hari ini. Penyegaran otak. Ayo, ikut aku!” Ryo menarik tanganku. Dengan susah payah kusejajari langkahnya.
“Hei, hei, pelan – pelan! Sebenarnya kita mau ke mana?” tanyaku penarasan.
“Diam dan ikuti saja aku. Jangan banyak bicara!” jawaban ketusnya sukses membuatku terdiam.
Ternyata untuk mencapai tempat yang kami tuju, kami perlu menaiki beberapa kali kendaraan umum. Sepertinya lumayan jauh. Aku tak tahu daerah mana ini. Yang kutahu, ini masih didalam kota. Entah bagian mana.
Tak ada pembicaraan sepanjang perjalanan. Hening. Matanya terus menerawang keluar, ke arah padatnya lalu lalang sore hari. Genggaman tangannya yang tak pernah lepas dari tanganku, seakan – akan aku ini seorang bocah yang kehilangan keluargaku. Kucoba memikirkan hal lain, sebelum otakku semakin tak karuan memikirkan apa maksud tingkah lakunya saat ini.
Satu jam perjalanan kami tempuh. Kami telah sampai di tempat tujuan. Sebuah taman di atas bukit kecil. Dari taman tersebut kami dapat melihat ke arah kota. Udaranya begitu sejuk, pemandangan sekelilingnya indah. Membuatku terdiam melihatnya. Mataku terbelalak. Kagum.
“Hei! Apa – apaan wajahmu itu! Jangan menunjukkan ekspresi seram seperti itu. Memangnya aku menyuruhmu melihat hantu?” teriakkan Ryo menyadarkanku.
“Maaf… Bukan begitu maksudku. Aku hanya kaget. Kagum. Belum pernah menjumpai tempat seperti ini. Tempat ini terlalu… Indah,” jawabku tak dapat menyembunyikan rasa kagumku. “Terima kasih, Ryo.”
Dia hanya memalingkan wajahnya lalu berjalan menjauhiku, menuju satu – satunya bangku taman yang ada di sana.
***
Sejak saat itu, aku selalu menyempatkan diri mengunjungi taman itu. Kini, taman itu menjadi tempat kesukaanku. Dimana aku bisa berkeluh kesah terhadap langit, bercerita dengan bintang – bintang. Terkadang kami pergi bersama pada malam hari, berbaring di atas rumput memandangi langit luas penuh bintang, hingga kami tertidur. Kebiasaan itu masih sering kami lakukan bahkan hingga sekarang, saat kami telah duduk dibangku sekolah menengah atas.
“Ha! Kutemukan kau! Kenapa kamu pergi ke sini sendiri saja? Jahat sekali ya, aku ditinggal.” Celotehku begitu menemukan Ryo. Aku turut berbaring disebelahnya.
“Hng… Berisik kau! Diam dan nikmati saja langit indah di atas sana.” Sahutnya.
Hening. Kami tenggelam dalam pikiran masing – masing. Beberapa menit berlalu, aku memutuskan memulai pembicaraan.
“Ryo…”
“Vira…”
Kami saling berpandangan lalu tertawa bersamaan.
“Kamu dulu, Ra.”
“Kamu dulu, Ryo.”
No. Ladies first.” Ryo kembali menatap langit.
“Baiklah. Aku ingin bertanya. Apa kabar Kak Rizky? Sejak dia kuliah di luar kota, aku tak pernah mengobrol lagi dengannya.”
“Apa? Kenapa kau tiba – tiba bertanya tentang dia?” Ryo menoleh ke arahku. Alisnya sedikit terangkat.
“Tak apa. Hanya ingin tahu. Tidak boleh?”
“Yakin kau hanya ingin tahu?” selidiknya.
“Iya, Ryo…” wajahku sedikit memanas.
“Entahlah. Terakhir kali kami bertemu, sebulan yang lalu dia pulang ke rumah. Membawa kekasihnya, mengenalkannya pada ayah dan ibu. Setelah itu, aku dan dia belum sempat bertukar kabar lagi.”
Dadaku sesak mendengar penjelasan Ryo. Jantungku berdetak lebih cepat. Aku memang belum memberitahu Ryo, belum mengakuinya pada siapa pun. Aku memang telah lama mengagumi sosok Kak Rizky. Sosok kakak yang selama ini aku impikan. Kakak yang bisa menjaga dan mengerti adiknya. Kakak yang perhatian pada adiknya. Tanpa kusadari, perasaan ini berkembang melebihi yang seharusnya. Begitu dewasa, aku menyadari bahwa aku menyukainya. Lebih dari sekedar kakak.
“Hei! Kau melamun lagi. Itu kebiasaan tidak baik, kau tahu. Ada apa?”
Aku tersentak dari lamuananku. “Tak apa. Aku titip salam untuk Kak Rizky, ya. Tanyakan kabarnya lalu katakan padanya aku merindukan saat – saat bermain petak umpet dengannya seperti dulu.”
***
Itu obrolan ‘intim’ terakhir kami. Karena beberapa minggu setelahnya, kami harus fokus pada ujian kami. Ujian akhir sekolah yang akan menentukan lulus atau tidaknya kami dari sekolah ini. Menentukan apakah kami akan mampu melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Walaupun begitu, kami tetap belajar bersama pada sore hari. Namun kami mengurangi obrolan – obrolan yang akan merusak konsentrasi belajar kami.
Tiga bulan berlalu. Seluruh rangkaian ujian yang melelahkan mulai dari pikiran, hati, tubuh, telah kami lalui dengan baik. Liburan panjang kami habiskan untuk penyegaran otak. Mengembalikan kesegaran dan menghilangkan kepenatan yang beberapa bulan terakhir ini membebani pikiran kami.
Sore itu, kami kembali mengunjungi taman bukit bersama.
“Leganya bisa menyelesaikan semua ujian dengan baik. Rasanya seperti aku terbebas dari himpitan batu besar yang selama ini membuatku tak bisa bergerak bebas.” Kataku sembari merentangkan tangan.
“Ya. Setidaknya, ada jeda liburan panjang sebelum tahun ajaran baru di tempat yang baru di mulai.”
“Hmm…”
“Oh ya, ada hal yang ingin kuberitahu padamu.” Ryo tampak serius.
“Apa itu?”
“Saat sebelum ujian sekolah, aku mengirimkan beberapa aplikasi ke beberapa instalansi pemerintah. Hasilnya, aku diterima dan aku mendapatkan beasiswa kuliah di luar negri. Aku akan berangkat ke Jerman dua minggu lagi.”
Hening. Otakku masih mencerna apa yang dimaksud oleh Ryo. Beasiswa? Kuliah? Ke luar negri? Ryo? Dia akan pergi? Dua minggu lagi? Berbagai pertanyaan merasuki pikiranku. Responku tak seperti yang kuharapkan.
“Oh. Jadi kau akan tinggal disana dan tak akan kembali dalam waktu yang lama?”
“Ya. Dan ada satu hal lagi,” Ryo meraih tanganku. “Aku sayang kamu, Vira. Sudah sejak lama. Bahkan sejak kita masih kecil. Sejak kita masih polos dan belum mengerti apa maksud dari perasaan seperti ini. Kumohon, tunggu aku hingga aku kembali lagi ke sini. Aku pasti akan menemuimu lagi disini, enam tahun lagi. Kumohon. Aku sayang kamu, Vira.” Pandangannya dalam menembus mataku. Seakan dia bisa membaca apa yang ada di dalam otakku.
Diam. Sepuluh menit. Lima belas menit. Tak ada gerakan sama sekali. Aku terlalu kaget akan pernyataan Ryo. Ketika aku sudah dapat merespon, hanya kalimat itu yang dapat aku keluarkan untuknya.
“Pergilah! Jangan dekati aku lagi! Aku benci kamu!”
Kalimat yang baru belakangan ini, membuatku tersadar. Kalimat yang menyebabkan penyesalan tersendiri dalam diriku.
***
Udara dingin yang berhembus di taman ini, mengembalikan kesadaranku. Kembali membuatku berpijak pada kenyataan yang ada. Bahkan hingga saat ini, aku masih sering mengunjungi taman bukit. Begitu kami menyebutnya. Aku dan Ryo.
Ah, Ryo. Mengingat nama itu memberikan penyesalan yang dalam pada diriku. Membuka luka lama yang telah kucoba tutupi dengan berbagai cara. Namun luka itu masih ada, menganga di sudut hatiku. Seandainya saat itu aku tidak lari, seandainya saat itu aku tidak mengatakan benci padanya, semua pasti akan berbeda. Seandainya…
Hari ini, tepat enam tahun setelah kejadian itu. Saat itu terakhir kalinya kami berbicara. Dua minggu kemudian Ryo berangkat ke Jerman. Hingga saat ini aku tak pernah mendengar kabarnya. Sebuah kesadaran merasukiku saat dia telah pergi. Aku telah kehilangan dirinya. Sahabat terbaik sekaligus orang yang ‘sesungguhnya’ kusayangi. Orang yang tanpa kusadari, telah menjadi begitu berarti dalam hidupku.
Berbaring di atas rumput, menatap langit luas, bercerita pada bintang – bintang. Berharap dia memenuhi janjinya. Datang ke sini saat ini. Aku terus bercerita pada bintang – bintang. Hingga aku terlelap…
***
“Vira, bangun. Kenapa tidur di sini? Nanti kamu masuk angin.”
Sayup – sayup kudengar seseorang memanggil namaku. Suara yang tidak asing. Saat ku membuka mata, aku tersentak bangun dari tidurku. Refleks mengambil posisi duduk di depan orang itu.
“Ryo?” tanyaku tak percaya. Ia hanya tersenyum. Senyumnya masih sama. Menghangatkan seperti dulu. “Sejak kapan?” lanjutku lagi.
“Hei, hei. Bangunkan dulu otakmu itu, kamu seperti orang yang telah dihipnotis,” candanya. “Sejak tadi pagi. Bukankah aku sudah berjanji akan menemuimu lagi disini, enam tahun lagi? Hari ini akhirnya datang. Aku menepati janjiku, Ra.”
Aku masih terdiam. Tak dapat merespon. Masih tak percaya bahwa kini di depanku, ada Ryo. Orang yang selama ini kutunggu setiap hari disini. Alasanku untuk tetap pergi ke sini setiap hari.
“Aku sudah berjanji akan kembali. Aku memintamu menunggu, dan sepertinya kau benar – benar menungguku, bukan?” Ryo kembali tersenyum. “Maaf telah membuatmu menunggu lama. Maaf telah mengecewakanmu. Maaf telah meninggalkanmu.” Ryo memberi jeda pada kalimatnya, mengeluarkan sesuatu dari dalam kantung celananya. “Maukah kau menikah denganku?”
Luapan emosi yang selama ini kupendam tak dapat kutahan lagi. Butir – butir air mata jatuh satu persatu. Tanpa suara, aku menganggukkan kepalaku. Kemudian Ryo memeluk erat diriku.
Kisah ini bukanlah akhir. Ini adalah awal. Awal yang indah dari kisah sepasang sahabat. Kisah yang bermula pada satu tempat indah di atas bukit kecil. Taman bukit.

-selesai-

Comments