Satu lagi cerpen gue yang paling baru. Maaf kalo ceritanya agak terlalu, begitu deh hehe. Kritik, saran maupun komentar yang membangun agar karya gue kedepannya bisa lebih baik lagi, sangat diterima. Sebelumnya, thanks loh udah mau baca cerpen gue :) Selamat membaca!
-ran
Pernahkah kalian bertemu dengan malaikat? Aku -mungkin-
telah bertemu dengan salah satunya. -dalam hal ini- Malaikat dunia.
***
Hari itu, jalanan Ibukota padat merayap seperti biasanya.
Jam pulang kantor. Mobil pribadi beramai-ramai pulang ke rumah masing-masing. Penumpang
berjejalan di bus umum ini. Pengalaman pertamaku pergi sendirian. Tanpa supir
pribadi, tanpa mobil nyaman ber-AC. Hanya aku dan ransel yang setia menemaniku.
Berkeliling Ibukota, hingga akhirnya aku memutuskan untuk pergi ke luar kota.
Mungkin aku nekat. Mungkin aku bodoh. Meninggalkan kehidupan yang serba terpenuhi.
Fasilitas serba mewah yang bisa kupakai sesuka hatiku.
Tapi justru aku bosan dengan semua keadaan itu.
Monoton. Hidup datar - datar saja tanpa ada jalan menanjak atau jalan
menurun. Aku ingin sesuatu yang berbeda!
Bus berhenti. Lampu merah. Aku melihat sekeliling.
Pandanganku terhenti pada sebuah sudut di bawah jembatan
di seberang sana. Lihatlah... Gadis manis yang sedang bercengkrama bersama anak
- anak jalanan. Senyumnya begitu hangat. Tawanya begitu lepas.
Sedang apa dia di sana? Tanpa pikir panjang, aku bergegas
turun dari bus. Berlari menuju tempat gadis itu. Entahlah... Dia membuatku sangat
penasaran. Beribu pertanyaan berkelebat dibenakku. Bagaimana bisa, gadis semanis
itu...
***
"Kakak... Cerita lagi! Kami mau cerita!" ujar
salah satu anak jalanan itu.
"Cerita apa? Hm?"
"Apa saja boleh, kak.
Yang lucu. Yang bagus." sahut yang lainnya.
"Baiklah. Kakak punya satu cerita. Jadi begini..."
Gadis itu memulai ceritanya.
Bercerita dengan penuh penghayatan.
Menirukan tokoh dengan baik.
Sesekali mereka tertawa bersama.
Gadis manis berambut panjang terikat. Berkaos putih.
Wajah tanpa riasan. Dikala orang-orang sibuk dengan kendaraan pribadinya.
Dikala orang-orang sibuk dengan keegoisannya agar cepat
sampai di rumah. Dikala matahari mulai tenggelam, dia -masih- dengan sabarnya menemani anak-anak
jalanan yang tak memiliki rumah itu. Mengajari mereka membaca dan menulis.
Menghibur mereka dengan cerita-ceritanya.
Mengobati lelahnya anak-anak akibat bekerja seharian.
Gadis itu tak sadar bahwa ada orang lain yang tengah memperhatikannya...
Praaangg!
Astaga.
Ceroboh sekali diriku! Batinku.
Tempat sampah sebesar itu bahkan tak terlihat oleh
mataku. Kini mereka semua melihat ke arahku. Kabar baiknya, gadis itu berjalan kemari hendak
menghampiriku. Sempurna.
"Maaf, kamu siapa? Kenapa bersembunyi di situ?"
tanya gadis itu sopan.
"Ehm, maaf. Gue tadi ngeliat lo asik banget ngobrol
sama mereka. Jadi gue ke sini pengen liat dari deket,"
jawabku sambil menunjuk kerumunan anak-anak itu.
"Nio."
"Lara," dia menyambut
tanganku. "Kenapa harus ngumpet kalau hanya ingin melihat apa yang
kami lakukan? Kamu boleh bergabung dengan kami, kok."
Kemudian Lara memperkenalkanku pada anak-anak itu.
Dia melanjutkan ceritanya.
Aku ikut duduk mendengarkan.
Setelah beberapa menit, ceritapun selesai dan anak-anak kembali
ke 'rumah' mereka masing-masing. Aku dan Lara beranjak pulang.
"Maaf, tapi aku gak punya hape."
jawabnya ketika kutanyakan nomor handphonenya. Astaga... Manusia macam apa yang tidak memiliki handphone di zaman yang sudah canggih
ini?
"Tapi kamu boleh datang lagi ke sini kalau ingin
bertemu denganku. Setiap hari Senin dan Jumat aku selalu di sini. Mulai jam 4 sore,
biasanya."
Aku berjanji untuk datang setiap sorenya, membantu dia
mengajar. Anak-anak itu adalah muridnya. Dia membuka sekolah darurat untuk membatu anak-anak itu
belajar. Pertemuan yang cukup bagus. Segera kucari tempat tinggal terdekat. Kubatalkan rencana
pergi ke luar kota. Ada sesuatu dalam dirinya. Gadis itu...
***
Satu bulan berlalu. Mengajar di sekolah darurat kini menjadi rutinitas
baruku. Banyak yang kupelajari dari Lara, dari anak–anak itu.
Bagaimana cara menangani anak kecil, bagaimana menjawab
pertanyaan mereka dengan cara yang benar, mengajarkan mereka sopan santun,
belajar bercerita untuk mereka. Bagaimana rasanya tertawa lepas, satu hal yang
tak pernah kudapatkan sebelumnya. Aku mulai betah berlama–lama bersama mereka, anak–anak
itu. Terutama Lara. Gadis itu… ada sesuatu yang sangat menarik perhatianku.
Entah apa. Dia begitu, berbeda…
“Yo, terima kasih ya, untuk hari ini.
Kamu lagi–lagi membantuku.”Obrolan kami di suatu senja,
di sebuah caffe kecil.
Aku mengajaknya kemari, menunggu lalu-lintas hingga
sedikit lebih ‘normal’.
“Gak apa, gue seneng kok bisa bantu lo. Apalagi bisa
ngajarin anak–anak itu. Mereka lucu–lucu, ya…” jawabku, tersenyum.
“Iya, mereka polos sekali. Oh ya, Nio, bagaimana dengan
sekolahmu? Apa kamu gak terganggu dengan kegiatan ini? Orang tuamu gak marah?”
tanya Lara penasaran. Ini dia, pertanyaan ini yang sangat ingin kuhindari.
“Emm… Maaf, Ra. Sebenarnya gue kabur dari rumah.
Hampir sebulan mungkin. Hari itu, saat gue memutuskan
untuk pergi keluar kota, gue ngeliat lo bersama anak–anak itu. Kalian tertawa
begitu lepas, membuat gue penasaran dan langsung turun dari bus yang gue
tumpangi. Sejak saat itu, gue memutuskan untuk menetap di sini.”
Lara terdiam sejenak. Kupikir dia akan marah padaku dan
tak mau lagi berteman denganku. Responnya sungguh diluar dugaanku.“Memangnya,
rumahmu dimana? Kamu gak tersesat, kan? Perlu kuantar pulang?”
Senyumnya begitu tulus.
Tak tersirat sedikitpun kemarahan dalam garis wajahnya.
Senja itu, aku berjanji pada Lara untuk pulang ke rumah.
Minta maaf pada orang tuaku, melanjutkan sekolahku. Aku
berjanji akan menemaninya mengajar setiap hari. Belajar untuk berbagi dengan
anak–anak itu…
***
Tak terasa beberapa bulan telah berlalu.
Banyak perubahan yang telah terjadi dalam hidupku
belakangan ini. Aku kembali ke rumah, kembali bersekolah, mengajar anak–anak kolong
jembatan setiap sore. Setiap akhir pekan, kami -aku dan Lara- mengajar orang
tua membaca dan menulis. Setidaknya mereka tidak buta huruf, begitu kata Lara.
Gadis itu, sungguh luar biasa.
Belum pernah aku menemukan orang sepertinya. Saat remaja
lain seumurannya asik menghamburkan uang di tempat–tempat hiburan, dia dengan
segala keterbatasannya masih -berusaha- memikirkan nasib orang lain, yang tidak
lebih baik darinya. Lara terlahir dari keluarga sederhana.
Ayahnya telah meninggal setahun yang lalu.
Ibunya hanya seorang penjual kue yang memiliki 5 orang
anak. Lara
mempunyai tiga orang adik yang masih kecil, serta seorang kakak yang sedang
kuliah. Hidup dalam kesederhanaan telah mengajari Lara untuk berbagi terhadap
sesamanya.
“Nio!” panggil Lara.
“Ah!” aku tersentak. Teriakkan Lara menyadarkanku dari
lamunan. “Ya? Ada apa, Ra?”
“Kamu yang kenapa? Dari tadi melamun terus. Ada masalah
apa?” tanyanya. Aku hanya terdiam. Sepertinya ada banyak hal yang ingin
kutanyakan tapi... Entahlah.Semua pertanyaan itu tertelan kembali sebelum
sempat kutanyakan padanya.
“Kalau ada apa–apa cerita aja ya, Yo. Aku pasti bantu
kalau aku bisa. Kamu udah banyak bantu aku, aku juga mau bisa bantu kamu.”
lagi–lagi, senyum tulusnya itu… Lara memegang tanganku hangat.
Tiba–tiba saja, sesuatu yang aneh mengaliri tanganku.
Setrum! Aku pun terlonjak.
“Ra, tangan lo… Barusan tangan lo nyetrum gue.
Tangan lo ada listriknya, Ra!” sergahku.
Lara hanya terdiam. Belum sempat ku tahan, Lara sudah terjatuh.
Pingsan.
Beberapa
jam kemudian…
“Aku baik–baik aja, kok.”
Lara kembali tersenyum.
Namun wajah pucatnya tetap tak bisa disembunyikan.
“Tapi lo sampe pingsan gitu, Ra. Tadi lo juga bisa nyetrum
gue. Gue takut lo kenapa-kenapa…”
“Percaya aja sama aku. Pulang, yuk!”
Aku berlari kecil menjajari langkahnya…
***
20
Juni 2009...
Malam ini rintik hujan jatuh perlahan membasahi bumi.
Jalanan mulai dipadati kendaraan bermotor yang
beramai–ramai mengunjungi tempat–tempat hiburan. Rutinitas akhir minggu di
-hampir semua- kota. Di sudut ruangan ini, aku menikmati pemandangan di luar
sana sembari menyeruput segelas coklat panas. Menunggu kedatangan
Lara. Hari
ini, aku memutuskan untuk memberanikan diri mengungkapkan semua pertanyaanku
padanya.
Sekian lama menunggu, sosok Lara terlihat menyebrangi
jalan menuju caffe ini.
Pakaiannya basah terkena tetesan hujan.
Dia terlihat melambai ke arahku dari pintu masuk.
“Hai, Nio! Maaf aku terlambat.
Udah lama di sini?”
“Hmm… Lumayan. Pelan – pelan aja, Ra. Duduk sini,” jawabku tersenyum.
Entahlah. Ada sisi lain diriku yang senang saat
melihatnya tergesa- gesa seperti itu. “Mau pesan minum apa?”
“Apa aja. Terserah kamu deh, Yo.” Jawab Lara, masih sibuk
merapikan tasnya.
“Mas!” teriakku pada salah satu pelayan caffe.
Seorang pelayan menghampiri mejaku.“Ya? Ada yang bisa
saya bantu?”
“Pesan segelas coklat panas, ya. Terima kasih.” Pelayan
itu pun segera meninggalkan meja kami.“Hari ini lo ngajar lagi, Ra? Atau bantu
- bantu di pasar?”
“Engga. Hari ini aku mengunjungi panti asuhan di dekat
sekolah. Aku berencana membantu mengajar di sana.”
Ah, Lara… Selalu saja ada hal yang membuatku mengagumimu
setiap harinya. Kali ini dengan kamu mengunjungi panti asuhan dan berencana
mengajar di sana. Bahkan ditengah segudang kesibukanmu, kamu masih menyempatkan
diri untuk berbagi dengan mereka. Bagian dari dirimu yang lain.
“Nio? Ada apa? Kamu ngelamun lagi, tuh! Ayo, cerita!”
kali ini, Lara mulai sedikit memaksa. Tujuanku
menemuimu di sini memang untuk bercerita, Lara…
“Iya, gue emang mau cerita banyak hal. Gak apa kan kalo
di sini sampe malem?” sebagai jawaban, Lara mengangguk. Segera saja ku mulai
cerita panjang itu…
Hening.
Jeda panjang untuk cerita yang sangat panjang.
Aku hanya bisa menghela napas berkali–kali.
Dia memandang ke luar jendela, menerawang ke kejauhan.
Kami masih di sudut yang sama, masih di temani segelas coklat panas serta
rintik hujan yang mulai menderas. Jalanan mulai terlihat lengang.
“Gue mau ngelanjutin kuliah di Belanda.
Besok gue berangkat.
Pesawat gue take-off
jam 8 pagi,” satu helaan napas panjang lagi. “Lo bisa nganter gue ke
bandara, kan?”
“Oke. Aku pasti dateng,
kok.” Terlihat senyumnya sedikit dipaksakan.
“Makasih, Ra. Oh ya, kenapa lo gak ambil beasiswa ke luar
negeri aja, sih? Lo kan pinter, Ra. Pasti bisa lebih sukses, deh.”
Lara diam. Kali ini dia yang menghela napas panjang.
Wajahnya berubah muram. “Kamu orang kedua setelah kakakku
yang nanya kayak gitu ke aku. Emangnya, sukses di sana yang kamu maksud itu
kayak apa, sih?”
“Ya lo kan dibayarin penuh kuliahnya. Mendapat uang
bulanan juga. Terus nanti kalo udah lulus, lo gampang dapat kerja. Apalagi lo pinter, pasti banyak perusahaan asing
yang nyari lo. Lo bakal kerja di luar negeri deh. Ibu lo ga perlu cape jualan
di pasar lagi. Lo tinggal kirim uang aja buat dia tiap bulannya,” kuhentikan sejenak untuk
mengambil napas.“Lo bisa sekolahin adik – adik lo, bahkan bisa beli rumah baru
yang lebih layak. Lo bisa penuhin semua kebutuhan keluarga lo.”
“Jadi itu yang kamu maksud dengan sukses? Punya pekerjaan
bagus dengan gaji besar? Lalu bisa memenuhi semua kebutuhan materi seluruh
anggota keluargaku?” nada bicaranya melemah.
Raut wajahnya terlihat begitu sedih.
Kemudian Lara melanjutkan, “maaf Yo, tapi bukan sukses
seperti itu yang aku maksud. Sukses itu bukan hanya dilihat dari seberapa besar gaji
yang kamu dapatkan dan seberapa banyak hartamu. Bagiku, sukses itu dilihat dari
seberapa banyak perubahan baik yang telah kamu lakukan serta seberapa banyak
kamu telah bermanfaat bagi orang lain. Tak perlu punya uang berlebih tapi kalau kamu bisa melakukan itu, menurutku kamu sudah sukses.
Aku ingin sukses yang seperti itu.
Tidak hanya bermanfaat bagi keluargaku, tapi juga bagi
orang banyak. Aku ingin bisa bermanfaat, aku ingin bisa membawa perubahan baik bagi
negara dimana aku dilahirkan. Tempat dimana aku tumbuh.
Aku ingin bermanfaat bagi negeri ini.
Bagi warga Indonesia.”
Hening. Lagi. Aku tak bisa menyembunyikan kekagetanku. Lara… Jadi
selama ini, hal itulah yang membuatnya berbeda dari gadis–gadis lain yang
kukenal. Cara pikirnya, sudut pandangnya terhadap suatu peristiwa, sikapnya
dalam menghadapi suatu masalah. Itulah yang membuatnya berbeda. Istimewa…
“Tapi lo tetep bisa bermanfaat untuk negara ini walaupun
lo kuliah di luar negeri. Setelah kuliah lo kembali ke sini, kerja di sini.
Apa salahnya menimba ilmu di negeri lain?”
“Aku belum siap, Yo.
Aku belum siap meninggalkan keluargaku.
Terlebih lagi anak-anak didikku. Kalau kita berdua kuliah di luar negeri, siapa yang akan
mengajar mereka nanti? Siapa yang akan bantu – bantu di panti asuhan?”
“Iya juga, sih.Tapi cuma empat tahun, kok. Kamu bisa
titip mereka ke adik – adik kamu, kan?” tapi…
Memangnya adik – adik Lara sudah bisa diberi tanggungjawab sebesar itu ya? Batinku. “Lagipula mereka sudah bisa membaca dan menulis.
Mereka sudah mulai mandiri.
Kamu ingin mengajarkan apalagi?”
“Masih banyak yang harus kuajarkan pada mereka, Yo.
Adik–adikku belum bisa diberi amanat dalam hal ini.
Teman–temanku, peduli apa mereka? Kalau bukan aku, siapa lagi?”
Lara kembali menghela napas panjang.“Teman – temanku,
mungkin belum waktunya mereka peduli pada sekitar.
Mereka semua hanya bisa menuntut meneriakkan perubahan
pada pemerintah. Tapi kalo pemerintah gak melakukan apa – apa, mereka cuma bisa marah –
marah. Lalu di mana letak perubahannya?
Bukankah lebih baik kita yang bergerak melakukan
perubahan? Daripada hanya berteriak–teriak dan memperkeruh keadaan.
Gak perlu yang besar kok.
Kita mulai dari diri sendiri aja dulu.
Contohnya aku, memilih untuk mengajar anak–anak kolong
jembatan daripada hanya berteriak menuntut biaya sekolah dimurahkan atau bahkan
gratis untuk anak–anak kurang mampu. Karena memang hanya itu yang bisa kulakukan.
Berbagi waktu dan ilmu yang kupunya.
Bukankah perubahan besar berasal dari perubahan kecil?
Gimana menurut kamu, Yo?”
Malam itu menjadi pertemuan panjang kami yang terakhir.
Malam itu, cerita panjang itu, membawa perubahan besar dalam hidupku dikemudian
hari…
***
11
Desember 2011…
Hari ini, aku kembali ke Indonesia.
Setelah lebih dari dua tahun meninggalkan tanah air
tercinta untuk menimba ilmu di negeri orang.
Hari ini, aku kembali ke Indonesia dengan penerbangan
pertama. Setelah mendapatkan kabar bahwa Lara kembali dilarikan ke UGD.
Kali ini, kondisinya kritis.
Dia sudah tak sadarkan diri lebih dari dua jam.
Keadaan yang membuatku cemas dan memutuskan untuk pulang.
Sesampainya aku di rumah sakit, segera kutemui dokter
yang menangani Lara.
“Dok, sebenarnya Lara sakit apa? Kenapa kondisinya bisa
sampai kritis begitu?”
“Saya juga belum tahu pasti apa penyakit yang diderita
Lara. Kalau dia sudah kelelahan, dia akan mengalami mimisan kemudian pingsan.
Terkadang dia juga mengalami kejang – kejang.
Yang lebih aneh, listrik statis dalam tubuhnya
berlebihan. Sehingga dia bisa menyetrum orang yang berada di dekatnya dan kemudian
pingsan. Keadaan ini yang membuat Lara menjadi lemah.
Dia terlambat diperiksa ke rumah sakit.
Dugaan sementara, Lara mengalami epilepsi.
Namun sepertinya bukan.
Kami para dokter pun belum pernah menemukan kasus yang
seperti ini. Mari kita berdoa saja untuk kesembuhan Lara.”
Lututku rasanya lemas. Bahkan dokter
pun tidak bisa memprediksi apa penyakit yang diderita
Lara. Kini, kami semua hanya bisa menunggu dan berdoa untuk kesembuhan Lara.
Malam harinya, tak pernah kuduga sebelumnya.
Lara menghembuskan napas terakhirnya.
Bahkan dia tak sempat sadarkan diri.
Kami tak sempat sekedar untuk saling mengucapkan ‘halo’.
Hanya ada satu surat dari Lara untukku. Surat yang sempat dia tulis sebelum dia
jatuh pingsan.
Nio,
kalau kamu membaca surat ini, mungkin aku sudah tidak bersamamu lagi. Maaf, aku
pergi meninggalkanmu.
Maaf, aku tidak bisa menunggumu. Maaf
kalau aku tidak berpamitan kepadamu. Lewat surat ini, aku akan bercerita
sedikit padamu…
Nio…
aku memang belum pernah cerita padamu kalau aku ini menderita penyakit aneh. Maaf,
ya… aku cuma
gak mau kamu khawatir.
Sebenarnya sudah sejak kecil aku menderita penyakit ini. Seiring
berjalannya waktu, penyakit ini sembuh dengan sendirinya. Tapi
ternyata, tidak lama sebelum kita bertemu, penyakit ini kembali kambuh.
Maaf
ya, Yo… Aku hanya ingin kuat untuk anak-anak
itu.
Aku hanya ingin kuat untuk orang-orang yang membutuhkanku. Tapi
nyatanya aku tidak bisa bertahan lebih lama lagi. Takdirku berkata lain. Maaf
kalau aku membuatmu marah, Yo…
Aku
titip mereka semua, ya, Yo. Aku percaya sama kamu. Kamu pasti bisa mendidik
mereka lebih baik dariku. Semangat, Yo! Kamu pasti bisa melanjutkan
perjuanganku.
Dan mulailah perjuanganmu sendiri. Kamu pasti bisa
menciptakan perubahan, Yo…
Salam
untuk semua anak – anak, ya. Salam juga
untuk keluargaku. Doaku selalu menyertaimu, Yo…
Sahabatmu,
Lara
Malam itu, aku tak kuasa menahan air yang sudah berkumpul
dipelupuk mata…
***
Hingga hari ini, semangat perjuangan Lara masih melekat
erat dalam diriku, dalam diri orang-orang yang mengenalnya.
Bukan hanya diriku yang melanjutkan perjuangannya, orang-orang terdekatnya pun dengan senang hati melanjutkan
perjuangan Lara. Bahkan, kami sudah memulai perjuangan kami masing-masing.
Lara bukan hanya memberikan perubahan yang baik bagi anak-anak itu. Lara bukan hanya memberikan manfaat bagi orang-orang itu. Tapi Lara, telah menyadarkan kami untuk lebih peduli pada
tanah kelahiran kami. Menularkan semangat untuk membuat perubahan. Kamu pasti
bisa tersenyum bahagia di sana.
Terima kasih, Ra…
-selesai-
Iseng2 tngah malem nyetalker bbrp twitter para followers gue(slh 1nya yg bkin blog ini :p), eh nmu alamat blog. Klo lo bkin crita jam 12 malem, gue bacanya jam 1 malem. Maleman gue kan? haha... (gapenting)
ReplyDeleteGue liat kotak 'amal' lo kosong, jadi yah...gue nyumbang dikit lah... Trnyata kita sama2 pnulis crita pndek ya, walaupun di jenis yg sdikit berbeda. Klo lo 'bneran' CERita PENdek, klo gue fanfiction, kekeke....
Oke,drtd gue ngmg hal yg gapenting mlu. padahal ni kotak 'amal' mustinya isinya saran kan? yah...gue bgung mo kasi comment apa ttg cerpen lo, scara gue uda luaamaaa bgt ga baca cerpen. bacanya fanfiction mlu. Well, they're similar but unlike. Eh tapi...gue suka diksi lo :). Honestly, im so bad on it, ya know? -,-
Ah...lo makin bkin gue pgen bkin smacem web blog buat nampung tulisan2 gue. Tapi gue bgung, blogger, wordpress, apa tumblr ya? -..-
Dan gue agaknya terlalu telat ngecek kotak amal hahaha.
DeleteGue bahkan masih gak tau apa bedanya fanfic sama cerpen biasa -__- bisa tolong jelaskan?
huehehe terima kasih :) itu... Keadaan emosi rada mempengaruhi diksi deh kayaknya haha.
Blogger! Atau tumblr juga boleh. Gue gak terlalu suka wordpress sih... Entah kenapa.