Hai! Gue kembali dengan tulisan terbaru gue. Sedikit selingan di sabtu malam yang dingin ini. Efek galau gara-gara gak ngerti lagi gimana caranya jawab soal analisis fisdas yang tiga lagi ini. Somebody help me, puhleaseee? TT___TT
Okesip udahan curhatnya. Langsung aja yak. This is the real short story. Don't forget for review guys. Thank you before. Enjoy and happy reading! :) *kembali ke jurnal fisdas*
Seringkali kita
dihadapkan pada dua pilihan. Hanya dua. Tidak pernah lebih. Hanya ada baik atau
buruk, atas atau bawah, depan atau belakang. Tidak ada tengah-tengah karena
yang ada hanya memilih untuk tidak memilih. Apakah itu sebuah pilihan? Entah.
Tapi bagiku, itu hanya berlaku bagi orang-orang yang terlalu takut. Terlalu
takut untuk memilih. Orang-orang yang menghindari pilihan.
Lalu, pernahkah kau
dihadapkan pada keadaan tidak memilih? Bukan. Bukan takut untuk memilih. Tapi
karena semua pilihan hanya berujung pada satu. Keadaan dimana terlihat dua
pilihan –yang memang hanya selalu dua- tapi nyatanya mereka hanyalah dua kata
kerja yang berbeda, aktif atau pasif. Mereka tidak seperti baik atau buruk,
atas atau bawah, depan atau belakang.
Jika kau tidak percaya,
maka alihkan perhatianmu padaku, Kawan. Lihatlah, hidupku selalu hanya bisa
mengikuti arus. Timbul tenggelam, terhempas, terombang-ambing di tengah
derasnya aliran sungai. Ada saatnya aku ingin berbelok, beralih jalan menuju
aliran yang tenang, tanpa guncangan. Namun sekuat apapun aku melawan, pada
akhirnya aku akan kembali terbawa arus deras ini.
Aku tak ubahnya
seonggok raga tanpa jiwa. Tubuh kosong yang sudah tidak dibutuhkan. Seluruh
‘isi’ di dalam tubuhku telah dipaksa keluar. Bahkan beserta ‘isi’ku itu, aku
masih tetap tak berdaya. Pun dalam keadaanku yang berbeda. Tak akan mengubah
takdirku yang hanya sebagai penggembira. Semacam tokoh paling baik yang akan dikorbankan
demi kebahagiaan tokoh utama, tentunya.
Penggembira yang akan
selalu dicampakkan, dibuang begitu saja setelah menunaikan tugasnya. Mengikuti
derasnya aliran, menjadi tempat tinggal bagi kehidupan baru yang kedinginan.
Selalu begitu hingga –entah kapan- akhirnya air ini akan membawaku ke sebuah
tempat biru nan luas, namun lebih berbahaya. Sekali lagi, Kawan, entah kapan.
Sampai saat itu tiba,
aku memilki dua buah pilihan –aktif atau pasif- yang hanya akan berujung pada
satu. Pilihan itu adalah mengalah atau dikalahkan. Lalu aku memutuskan untuk
membuat pilihan ketiga. Menunggu. Menunggu untuk akhirnya –dipaksa- mengalah
atau menunggu untuk akhirnya –terpaksa- dikalahkan.
Janganlah
mengasihaniku, Kawan. Karena pada akhirnya aku bisa membuat pilihanku sendiri.
Lagipula, dalam setiap inci perjalananku, aku selalu menemukan hal-hal baru.
Pelajaran-pelajaran baru. Aku, seonggok kaleng bekas berkarat. Dan inilah
kisahku, Kawan. Kisah yang belum berakhir, melainkan baru saja dimulai.
-ran
bang, lu kalo galau produktif ya. bangga deh.
ReplyDeleteiya banget ning, haha. gue harus galau dulu baru produktif -__-
Delete