Selamat malam!
Hiyaaa setelah sekian lama gue hilang dari peradaban, senang rasanya bisa balik lagi ke sini. Sayangnya, kali ini gue belum mau menceritakan kenapa gue hilang lama banget. Nanti ada waktunya di post yang lain, ya. Hm, post yang sekarang ini, gue bakal kasih liat hasil tulisan gue setelah vakum kira-kira...ah, berapa tahun lah itu gue juga nggak inget. Hahaha.
Cerpen kali ini pakai tema obrak-abrik lirik lagi, ya. Berhubung gue udah lama banget nggak nulis, jadi daya imajinasi gue menurun drastis. Kosakata gue kayak banyak yang hilang. Dan gue ngerasa tulisan gue kaku dan crispy abis. Sedih sih, tapi namanya juga abis berhenti nulis bertahun-tahun lamanya, ya emang gitu jadinya. Tenang, setelah ini gue akan mulai banyak berlatih lagi. Gue udah berjanji sama diri sendiri untuk lebih produktif tahun ini.
Well, OAL gue kali ini terinspirasi dari lagu "We Don't Talk Anymore", kalian pasti udah tau lah ya lagu hits satu ini. Feel free to comment, ya! Segala kritik, saran, dan masukan yang membangun sangat gue terima, kok. Oke, untuk kalian yang pernah mengalami masa-masa indah. Untuk kalian yang akhirnya terjebak pada keheningan. Untuk kalian yang sudah tak saling bicara. Selamat bangkit. Selamat membaca!
-ran
-ran
*****
Jalanan
telah lengang dan langit telah pekat saat aku tiba di rumah. Suara jangkrik dan
tokek sahut-menyahut di kejauhan, menjadi latar di tempat yang kosong ini.
Bintang bertaburan menemani bulan berbentuk cembung di atas sana. Sinar mereka
tetap tak bisa mengisi hampa yang aku rasakan. Jelas sudah, beginilah definisi
sepi lebih menyedihkan dari sendiri. Baru kali ini aku bisa membedakannya.
Aku
lempar tas kerjaku begitu saja ke atas sofa. Berjalan gontai menuju kamar
sembari melonggarkan dasi dan menggulung lengan kemejaku. Kubuka pintu kamar
perlahan, berusaha tak mengganggu ia yang sudah tertidur pulas. Hening. Kamar
itu masih rapi dan bersih, sama seperti saat aku tinggalkan. Lalu aku teringat,
ia tidak akan kembali lagi ke sini. Itu
kan sudah berlalu, dasar bodoh. Rutukku dalam hati.
Berjalan
menuju tempat tidur, aku menghela napas panjang dan berat. Segera kubanting
tubuhku di atas kasur, lalu kupejamkan mata. Kelebatan bayang-bayang masih
tetap ada sekeras apapun usahaku mengusirnya. Kuraih telepon genggam dari saku
celana. Dan tanpa sadar aku sudah membuka kontak itu, kontak yang selalu aku
buka setiap hari, dulu. Berulang kali kalimat ditulis lalu dihapus, tak ada
daya untuk menyentuh tombol kirim. Untuk
apa? Batinku.
Dengan
kesal, aku lempar telepon genggam itu sembarangan, lalu memejamkan mata dan
berusaha untuk tidur. Aku harus baik-baik
saja, karena sepertinya dia sudah baik-baik saja, sekalipun tidak bicara
padaku.
***
Sudah
satu bulan lamanya kami tidak bertemu. Pekerjaanku yang semakin rumit dan
kesibukan tingkat akhir, membuat aku dan ia hanya bisa berkomunikasi via chat dan telepon saja. Jadwal kerjaku
tidak tentu, bahkan terkadang harus bepergian ke luar kota selama beberapa
hari. Ia sedang mengerjakan tugas akhir yang seringkali membuatnya harus
menginap di laboratorium, tidak jarang semalam suntuk. Begitulah kami. Rindu yang
membuncah seringkali menjadi pemicu pertengkaran-pertengkaran kecil. Tak jarang
membuatnya harus berteriak-teriak di telepon, atau yang lebih parah, menangis.
Dan aku benci membuatnya menangis.
Hari
yang ditunggu pun tiba. Kami sudah merencanakannya sejak lama, untuk bertemu
dan menghabiskan waktu hanya berdua. Rehat sejenak dari segala kesibukan yang
selama ini telah banyak menyita waktu kami.
Aku
memarkir mobil dan bergegas menuju atap salah satu gedung di area universitas
itu. Sejak awal aku mengenalnya, dia sudah memberitahu bahwa atap itu adalah
tempat favoritnya di kampus. Tempat di mana ia bisa menyendiri dan menikmati
waktu-waktu istirahat yang tenang. Lambat laun, tempat itu menjadi salah satu
tempat kami membuat janji untuk bertemu. Seperti hari ini.
“Kamu
bangun kesiangan, ya?” tanyanya sambil tetap menatap kejauhan. Aku tersenyum,
berjalan menghampiri.
“Iya,
hehe. Maaf ya, aku capek banget semalam. Nggak sadar kalau alarm bunyi terus.”
Jawabku sambil duduk di sebelahnya. Ia menoleh, tersenyum seperti biasanya.
Senyum hangat yang selalu aku rindukan.
“Kamu,
kok, tau aku datang? Nggak lihat ke belakang pula. Asyik banget kayaknya lihat
orang-orang lewat di bawah.”
“Iya,
dong! Walaupun kamu jalan pelan-pelan, baunya kamu sampai ke sini. Belum mandi,
ya? Hahaha.” Bahunya berguncang saat tertawa, rambutnya yang panjang melambai
tertiup angin. Pemandangan yang selalu bisa mengalihkan duniaku.
“Hah?
Masa, sih? Aku mandi, kok.” Kataku sembari mengendus kaos dan jaket yang
kupakai.
“Serius
banget, aku bercanda, kok. Jadi, mau ke mana kita?”
“Makan
dulu, gimana? Aku lapar. Setelah itu baru jalan-jalan.”
“Benar,
ya? Yuk!”
Kami
menghabiskan waktu dengan berkeliling kota. Mencoba beberapa tempat makan baru
dan mengunjungi tempat wisata baru. Rasanya, aku ingin melambatkan waktu lalu menghentikan
detik. Agar tawa ceria kami bisa selamanya seperti ini.
***
Layar
telepon genggam itu masih menunjukan kontak yang sama sejak beberapa menit yang
lalu. Dalam tiga jam terakhir, aku bolak-balik membuka kotak pesan, berharap
ada satu kabar dari lelaki menyebalkan itu. Terakhir mendengar kabar darinya,
ia sedang berada di luar kota. Tugas kantor, katanya. Tapi sekarang aku tak
tahu dia di mana, bahkan aku ragu dia masih hidup. Aku yang mulai kesal, mudah
terpengaruh oleh imajinasi liarku. Ia menghilang begitu saja.
Kesibukan
masing-masing membuat komunikasi kami hanya bisa melalui telepon genggam.
Seringkali kami bertengkar karena hal itu. Sebisa mungkin kami luangkan waktu
sekali dalam sebulan untuk bertemu, walaupun hanya sekedar makan bersama. Masih jelas dalam ingatan, saat terakhir kami bertemu, pagi menjelang siang dan udara tak terlalu kering seperti biasanya. Matahari
belum terik, gumpalan awan putih menghiasi langit. Angin bertiup di atap
bangunan yang sedang aku kunjungi itu. Tempat kami janji untuk bertemu.
Aku
menunggunya sembari menikmati pemandangan indah hamparan sawah yang sedang
hijau-hijaunya. Dikejauhan, lekukan pegunungan tertutupi awan-awan serta kabut.
Cerobong asap pabrik menguarkan aroma coklat ke udara. Tak lama kemudian, tercium
aroma yang lain, lebih maskulin. Aku tahu begitu saja, kalau dia berjalan
perlahan untuk mengagetkanku. Namun, aku menyapanya lebih dulu.
“Iya,
dong! Walaupun kamu jalan pelan-pelan, baunya kamu sampai ke sini. Belum mandi,
ya? Hahaha.”
“Hah?
Masa, sih? Aku mandi, kok.”
“Serius
banget, aku bercanda, kok. Jadi, mau ke mana kita?”
“Makan
dulu, gimana? Aku lapar. Setelah itu baru jalan-jalan.”
“Benar,
ya? Yuk!”
Percakapan
yang samar-samar masih terdengar di telingaku. Suaranya yang dalam dan
menenangkan bercampur desir angin, bersahutan dengan suara tawaku. Aku yang
sering meledeknya karena tak mampu mengungkapkan isi hatiku yang sebenarnya.
Tak seperti aku yang sangat payah dalam hal itu, ia mampu mengatakan dengan
lugas isi hatinya. Mampu membalutnya dalam perlakukan-perlakuan manis. Namun,
sejak berpisah malam itu, ia mulai bungkam. Seperti aku tak pernah ada di
dunia.
***
Waktu
menunjukan pukul 01.00 dini hari. Aku terbangun oleh getar telepon genggamku
yang tak kunjung berhenti. Kulirik sekilas, terlihat ada beberapa panggilan tak
terjawab dan sebuah pesan yang masuk. Aku meregangkan tubuh dengan malas,
menatap langit-langit kamar. Begitu sepi di sini. Hanya terdengar suara detik
jam yang lambat. Seakan aku terhisap oleh memori usang berbau apak, tak bisa
melepaskan diri. Kuraba kasur di sampingku, kosong. Seharusnya kau ingat bahwa tak akan tercium aroma maskulin lagi di
sebelahmu. Makiku dalam hati.
Kuambil
telepon genggam itu, sudah bisa kuduga siapa yang meneleponku malam-malam
begini. Karena teleponnya tak kunjung diangkat, ia mengirimkan sebuah pesan.
Hai sayang, aku udah di rumah nih. Selamat tidur, ya.
Kita ketemu lagi besok.
Tak
seperti yang kuharapkan, itu bukan kabar yang aku tunggu. Bukan aroma maskulin
yang seringkali aku hirup diam-diam. Bukan dari suara yang dalam dan
menenangkan. Bukan dari senyum manis yang selalu berhasil menarikku ke arahnya.
Semua ini berbeda. Lalu, tanpa sadar aku sudah membuka kontak itu, kontak yang
selalu aku buka setiap hari, dulu. Berulang kali kalimat ditulis dan dihapus,
tak ada daya untuk menyentuh tombol kirim. Untuk
apa? Batinku.
Aku
selalu menunggu ia yang lebih dulu mengirimkan pesan. Memberi kabar padaku,
entah bagaimana tiba-tiba ia muncul dari tempat pertapa yang tersembunyi. Aku
selalu berharap layar yang bertuliskan “sedang
mengetik…” itu pada akhirnya penuh dengan kalimat-kalimat yang manis,
kalimat rindu. Dan hidup tak selalu bisa seperti yang kita harapkan.
Saat
malam semakin dingin, aku tersadar bahwa semua hal itu tak akan pernah terjadi.
Berapa lama pun aku menunggu dan memandangi layar itu. Ia akan tetap
menghilang, pergi begitu saja dari hidupku. Karena sejak hari itu, aku seperti
tak pernah ada di dunia. Kami tak pernah saling bicara lagi.
Aku lempar
telepon genggam itu dan berusaha untuk kembali tidur.
*****
"Kadangkala kita amat serba-salah. Seharusnya diam kita bersuara. Seharusnya bersuara kita diam." - T. Alias Taib, Seberkas Kunci
Comments
Post a Comment