Skip to main content

[OAL] We Don't Talk Anymore - Charlie Puth ft. Selena Gomez

Selamat malam!

Hiyaaa setelah sekian lama gue hilang dari peradaban, senang rasanya bisa balik lagi ke sini. Sayangnya, kali ini gue belum mau menceritakan kenapa gue hilang lama banget. Nanti ada waktunya di post yang lain, ya. Hm, post yang sekarang ini, gue bakal kasih liat hasil tulisan gue setelah vakum kira-kira...ah, berapa tahun lah itu gue juga nggak inget. Hahaha.

Cerpen kali ini pakai tema obrak-abrik lirik lagi, ya. Berhubung gue udah lama banget nggak nulis, jadi daya imajinasi gue menurun drastis. Kosakata gue kayak banyak yang hilang. Dan gue ngerasa tulisan gue kaku dan crispy abis. Sedih sih, tapi namanya juga abis berhenti nulis bertahun-tahun lamanya, ya emang gitu jadinya. Tenang, setelah ini gue akan mulai banyak berlatih lagi. Gue udah berjanji sama diri sendiri untuk lebih produktif tahun ini.

Well, OAL gue kali ini terinspirasi dari lagu "We Don't Talk Anymore", kalian pasti udah tau lah ya lagu hits satu ini. Feel free to comment, ya! Segala kritik, saran, dan masukan yang membangun sangat gue terima, kok. Oke, untuk kalian yang pernah mengalami masa-masa indah. Untuk kalian yang akhirnya terjebak pada keheningan. Untuk kalian yang sudah tak saling bicara. Selamat bangkit. Selamat membaca!
-ran

*****

Jalanan telah lengang dan langit telah pekat saat aku tiba di rumah. Suara jangkrik dan tokek sahut-menyahut di kejauhan, menjadi latar di tempat yang kosong ini. Bintang bertaburan menemani bulan berbentuk cembung di atas sana. Sinar mereka tetap tak bisa mengisi hampa yang aku rasakan. Jelas sudah, beginilah definisi sepi lebih menyedihkan dari sendiri. Baru kali ini aku bisa membedakannya.
Aku lempar tas kerjaku begitu saja ke atas sofa. Berjalan gontai menuju kamar sembari melonggarkan dasi dan menggulung lengan kemejaku. Kubuka pintu kamar perlahan, berusaha tak mengganggu ia yang sudah tertidur pulas. Hening. Kamar itu masih rapi dan bersih, sama seperti saat aku tinggalkan. Lalu aku teringat, ia tidak akan kembali lagi ke sini. Itu kan sudah berlalu, dasar bodoh. Rutukku dalam hati.
Berjalan menuju tempat tidur, aku menghela napas panjang dan berat. Segera kubanting tubuhku di atas kasur, lalu kupejamkan mata. Kelebatan bayang-bayang masih tetap ada sekeras apapun usahaku mengusirnya. Kuraih telepon genggam dari saku celana. Dan tanpa sadar aku sudah membuka kontak itu, kontak yang selalu aku buka setiap hari, dulu. Berulang kali kalimat ditulis lalu dihapus, tak ada daya untuk menyentuh tombol kirim. Untuk apa? Batinku.
Dengan kesal, aku lempar telepon genggam itu sembarangan, lalu memejamkan mata dan berusaha untuk tidur. Aku harus baik-baik saja, karena sepertinya dia sudah baik-baik saja, sekalipun tidak bicara padaku.

***

Sudah satu bulan lamanya kami tidak bertemu. Pekerjaanku yang semakin rumit dan kesibukan tingkat akhir, membuat aku dan ia hanya bisa berkomunikasi via chat dan telepon saja. Jadwal kerjaku tidak tentu, bahkan terkadang harus bepergian ke luar kota selama beberapa hari. Ia sedang mengerjakan tugas akhir yang seringkali membuatnya harus menginap di laboratorium, tidak jarang semalam suntuk. Begitulah kami. Rindu yang membuncah seringkali menjadi pemicu pertengkaran-pertengkaran kecil. Tak jarang membuatnya harus berteriak-teriak di telepon, atau yang lebih parah, menangis. Dan aku benci membuatnya menangis.
Hari yang ditunggu pun tiba. Kami sudah merencanakannya sejak lama, untuk bertemu dan menghabiskan waktu hanya berdua. Rehat sejenak dari segala kesibukan yang selama ini telah banyak menyita waktu kami.
Aku memarkir mobil dan bergegas menuju atap salah satu gedung di area universitas itu. Sejak awal aku mengenalnya, dia sudah memberitahu bahwa atap itu adalah tempat favoritnya di kampus. Tempat di mana ia bisa menyendiri dan menikmati waktu-waktu istirahat yang tenang. Lambat laun, tempat itu menjadi salah satu tempat kami membuat janji untuk bertemu. Seperti hari ini.

“Kamu bangun kesiangan, ya?” tanyanya sambil tetap menatap kejauhan. Aku tersenyum, berjalan menghampiri.
“Iya, hehe. Maaf ya, aku capek banget semalam. Nggak sadar kalau alarm bunyi terus.” Jawabku sambil duduk di sebelahnya. Ia menoleh, tersenyum seperti biasanya. Senyum hangat yang selalu aku rindukan.
“Kamu, kok, tau aku datang? Nggak lihat ke belakang pula. Asyik banget kayaknya lihat orang-orang lewat di bawah.”
“Iya, dong! Walaupun kamu jalan pelan-pelan, baunya kamu sampai ke sini. Belum mandi, ya? Hahaha.” Bahunya berguncang saat tertawa, rambutnya yang panjang melambai tertiup angin. Pemandangan yang selalu bisa mengalihkan duniaku.
“Hah? Masa, sih? Aku mandi, kok.” Kataku sembari mengendus kaos dan jaket yang kupakai.
“Serius banget, aku bercanda, kok. Jadi, mau ke mana kita?”
“Makan dulu, gimana? Aku lapar. Setelah itu baru jalan-jalan.”
“Benar, ya? Yuk!”

Kami menghabiskan waktu dengan berkeliling kota. Mencoba beberapa tempat makan baru dan mengunjungi tempat wisata baru. Rasanya, aku ingin melambatkan waktu lalu menghentikan detik. Agar tawa ceria kami bisa selamanya seperti ini.

***

Layar telepon genggam itu masih menunjukan kontak yang sama sejak beberapa menit yang lalu. Dalam tiga jam terakhir, aku bolak-balik membuka kotak pesan, berharap ada satu kabar dari lelaki menyebalkan itu. Terakhir mendengar kabar darinya, ia sedang berada di luar kota. Tugas kantor, katanya. Tapi sekarang aku tak tahu dia di mana, bahkan aku ragu dia masih hidup. Aku yang mulai kesal, mudah terpengaruh oleh imajinasi liarku. Ia menghilang begitu saja.
Kesibukan masing-masing membuat komunikasi kami hanya bisa melalui telepon genggam. Seringkali kami bertengkar karena hal itu. Sebisa mungkin kami luangkan waktu sekali dalam sebulan untuk bertemu, walaupun hanya sekedar makan bersama. Masih jelas dalam ingatan, saat terakhir kami bertemu, pagi menjelang siang dan udara tak terlalu kering seperti biasanya. Matahari belum terik, gumpalan awan putih menghiasi langit. Angin bertiup di atap bangunan yang sedang aku kunjungi itu. Tempat kami janji untuk bertemu.
Aku menunggunya sembari menikmati pemandangan indah hamparan sawah yang sedang hijau-hijaunya. Dikejauhan, lekukan pegunungan tertutupi awan-awan serta kabut. Cerobong asap pabrik menguarkan aroma coklat ke udara. Tak lama kemudian, tercium aroma yang lain, lebih maskulin. Aku tahu begitu saja, kalau dia berjalan perlahan untuk mengagetkanku. Namun, aku menyapanya lebih dulu.

“Iya, dong! Walaupun kamu jalan pelan-pelan, baunya kamu sampai ke sini. Belum mandi, ya? Hahaha.”
“Hah? Masa, sih? Aku mandi, kok.”
“Serius banget, aku bercanda, kok. Jadi, mau ke mana kita?”
“Makan dulu, gimana? Aku lapar. Setelah itu baru jalan-jalan.”
“Benar, ya? Yuk!”

Percakapan yang samar-samar masih terdengar di telingaku. Suaranya yang dalam dan menenangkan bercampur desir angin, bersahutan dengan suara tawaku. Aku yang sering meledeknya karena tak mampu mengungkapkan isi hatiku yang sebenarnya. Tak seperti aku yang sangat payah dalam hal itu, ia mampu mengatakan dengan lugas isi hatinya. Mampu membalutnya dalam perlakukan-perlakuan manis. Namun, sejak berpisah malam itu, ia mulai bungkam. Seperti aku tak pernah ada di dunia.
***

Waktu menunjukan pukul 01.00 dini hari. Aku terbangun oleh getar telepon genggamku yang tak kunjung berhenti. Kulirik sekilas, terlihat ada beberapa panggilan tak terjawab dan sebuah pesan yang masuk. Aku meregangkan tubuh dengan malas, menatap langit-langit kamar. Begitu sepi di sini. Hanya terdengar suara detik jam yang lambat. Seakan aku terhisap oleh memori usang berbau apak, tak bisa melepaskan diri. Kuraba kasur di sampingku, kosong. Seharusnya kau ingat bahwa tak akan tercium aroma maskulin lagi di sebelahmu. Makiku dalam hati.
Kuambil telepon genggam itu, sudah bisa kuduga siapa yang meneleponku malam-malam begini. Karena teleponnya tak kunjung diangkat, ia mengirimkan sebuah pesan.
Hai sayang, aku udah di rumah nih. Selamat tidur, ya. Kita ketemu lagi besok.

Tak seperti yang kuharapkan, itu bukan kabar yang aku tunggu. Bukan aroma maskulin yang seringkali aku hirup diam-diam. Bukan dari suara yang dalam dan menenangkan. Bukan dari senyum manis yang selalu berhasil menarikku ke arahnya. Semua ini berbeda. Lalu, tanpa sadar aku sudah membuka kontak itu, kontak yang selalu aku buka setiap hari, dulu. Berulang kali kalimat ditulis dan dihapus, tak ada daya untuk menyentuh tombol kirim. Untuk apa? Batinku.
Aku selalu menunggu ia yang lebih dulu mengirimkan pesan. Memberi kabar padaku, entah bagaimana tiba-tiba ia muncul dari tempat pertapa yang tersembunyi. Aku selalu berharap layar yang bertuliskan “sedang mengetik…” itu pada akhirnya penuh dengan kalimat-kalimat yang manis, kalimat rindu. Dan hidup tak selalu bisa seperti yang kita harapkan.
Saat malam semakin dingin, aku tersadar bahwa semua hal itu tak akan pernah terjadi. Berapa lama pun aku menunggu dan memandangi layar itu. Ia akan tetap menghilang, pergi begitu saja dari hidupku. Karena sejak hari itu, aku seperti tak pernah ada di dunia. Kami tak pernah saling bicara lagi.
Aku lempar telepon genggam itu dan berusaha untuk kembali tidur.

*****

"Kadangkala kita amat serba-salah. Seharusnya diam kita bersuara. Seharusnya bersuara kita diam." - T. Alias Taib, Seberkas Kunci

Comments