Ini dia, cerpen yg gue ikutin di lomba LMCR. Maaf yaa, tingkat bahasa gue masih abal abal. Dan maaf jg kalo kepanjangan haha :D betewe, yg merasa tau jangan berisik! ('o') Enjoy! Kritik dan saran amat diterima ^^
-ran
-ran
Tetep semangat yaa kaak!
Pesan terkirim.
“Hhhh…”
Untuk yang kesekian kalinya aku hanya bisa menghela nafas. Kegiatan mengirim pesan yang berisikan kalimat penyemangat itu telah menjadi rutinitasku beberapa minggu terakhir ini. Dialah Randi. Semua pesan yang berisikan kalimat penyemangat itu tertuju padanya. Randi, seorang kakak kelas yang -beberapa bulan terakhir ini- telah menarik perhatianku. Aku mengenalnya sebagai kakak kelas disebuah organisasi yang kuikuti di sekolah, saat aku mulai bergabung dalam susunan kepengurusan organisasi tersebut. Dia kakak kelas yang mudah bergaul serta cukup dekat dengan adik – adik kelasnya. Sejujurnya, sejak awal aku sudah mengenalnya. Namun, aku hanya sekedar tahu. Melihatnya dari sudut pandang yang normal, seniorku. Tidak lebih.
Aku. Salah satu dari sekian banyak juniornya. Aku yakin dia tidak mengenalku. Karena seperti biasa, kehadiranku memang jarang diperhitungkan oleh orang lain. Mungkin hampir tidak pernah. Lalu, tanpa dapat diprediksi keadaanku pun berubah. Semua berawal saat organisasiku melaksanakan proker terbesarnya. Beberapa bulan yang lalu…
“Jadinya gimana nih? Udah jam setengah delapan sedangkan kita harus jemput mereka jam 8. Kalo mau berangkat dari sekarang. Ini malam minggu, pasti macet banget.”
“Yaudah biar gue aja yang berangkat. Kasian yang kelas satu udah cape kerja dari pagi. Biar mereka istirahat aja.” Jawab Widi, salah satu panitia penyelenggara acara ini.
“Janganlah. Tampang lo udah melas parah banget gitu. Nanti kalo ada apa – apa di jalan gimana? Minta tolong sama yang lain aja…”
“Assalamu’alaikum! Wah, masih pada disini. Maaf ya, tadi gue pulang dulu. Gue bisa bantu apa nih?” seru Kak Randi yang baru saja datang. Semua kepala menoleh ke arahnya. Seketika kami tersenyum senang. Bagai malaikat, dia datang dan terjawablah sudah masalah kami. Akhirnya sudah ada orang yang bersedia menjemput bintang tamu kami.
“Tapi hape gue baterainya udah abis, Di. Yang lain sama aja, lagi pada ngantri ngecas. Malah pada ga punya pulsa.” Aku sedikit mencuri dengar pembicaraan Widi dengan Kak Randi.
“Nih, bawa aja dulu hape gue. Pulsanya masih ada terus baterainya juga masih penuh. Nanti soal hotel biar gue sms ke nomor itu, tapi kemaren udah beres gue urus, sih.” Sergahku seraya menyerahkan telepon genggamku ke tangan Widi.
Malam itu, aku bisa pulang dan tidur dengan tenang…
***
Acara terbesar kami telah sukses dilaksanakan, beberapa minggu pun berlalu. Pada akhirnya aku berkenalan secara ‘resmi’ dengan Kak Randi. Sejak acara tersebut selesai, kami mulai dekat. Kami sering mengobrol, menjahili temanku, kami mulai akrab sebagai kakak kelas dan adik kelas. Kupikir semuanya baik – baik saja. Sampai pada suatu hari, aku mulai merasakan ‘sesuatu’. ‘Sesuatu’ tersebut tidaklah normal dan mulai mengganggu keseharianku. Aku terjangkit virus merah muda.
Pesan baru.
Iyaaa nad! Thanks yaaa…
“Hhhh…”
Lagi – lagi aku hanya bisa menghela nafas panjang. Kakak tau ga sih, kalau aku disini sangat memperhatikan kakak? Kakak tau ga sih, kalau aku disini merasakan ‘sesuatu’ yang lebih terhadap kakak? Batinku menjerit. Lelah mengagumi dalam diam. Tapi apa yang bisa kulakukan selain memberinya semangat dari jauh? Lagipula aku memang terlambat mengenalnya lebih dekat. Terlambat menyadari keberadaannya. Terlambat, namun amat kusyukuri keterlambatan itu.
Tiga minggu yang lalu…
“Aduuuhh, gimana nih? Dia sama temen – temennya terus. Ga berani gue ngasihnya. Gimana, nih?” tanyaku panik. Teman – temanku mulai terlihat tak sabar.
“Kan udah gue bilang daritadi, sms Bang Ucok. Suruh ke sini bilang aja dipanggil Bina. Ajak Randi sekalian.” Jawab Bina, gemas.
“Tapi Bin, kalo nanti Bang Ucok nanya – nanya gitu gimana? Terus gimana cara dia bawa tasnya? Nanti kalo kuenya keliatan gimana?” aku semakin panik memikirkan kemungkinan – kemungkinan yang bisa terjadi.
“Nad, gemes deh gue. Udah cepetan sms sekarang atau lo mau nungguin dia sampe pulang? Suruh dia bawa tasnya kalo perlu. Kapan lagi mau ngasih? Dia udah lulus, kan. Kebetulan sekarang dia ulang tahun yaa harus kasih sekarang, lah.”
“Tau, Nad. Mau ngasih ga, sih? Mending buat gue aja kalo ga mau ngasih. Sayang tau udah bikin cape – cape juga. Gue udah bawa kamera, nih!” sahut Dewi. Akhirnya dengan mengumpulkan segenap keberanian yang terisisa, aku mengirim pesan kepada Kak Randi. Aku minta bertemu dengannya untuk membicarakan sesuatu.
Tak lama, Kak Randi menghampiriku…
“Ada apa, Nad? Kenapa ga lewat sms aja?” tanya Kak Randi.
“Itu… Sebenernya bukan soalnya Audi,” aku bergegas mengambil tas plastik lalu memberikannya kepada Kak Randi. “Sebenernya aku mau ngasih ini. Selamat ulang tahun, Kak.”
“Wah, apa nih? Boleh dibuka sekarang ga, Nad?”
“Jangan dong, Kak. Nanti aja kalo kakak udah sampe rumah.” jawabku pelan. Malu rasanya berhadapan langsung dengan sosoknya seperti ini. Wajahku perlahan memerah. Ya Tuhan… aku ingin lekas pergi dari sini! Batinku.
“Makasih ya, Nad. Jarang – jarang nih kakak dapet kado.”
Aku hanya bisa membalas senyumnya…
***
Sejak saat itu, aku selalu berusaha menghindarinya sebisa mungkin. Menghindar agar tak bertatap muka dengannya. Tapi semakin aku menghidar, semakin sering kami bertemu. Semakin sering pula dia mengungkit – ungkit perihal hadiah ulang tahun tersebut. Bahkan, dihadapan teman – temannya. Betapa malunya diriku.
Tetapi, aku tak berhenti sampai disitu saja. Rutinitasku di rumah pun bertambah. Hampir setiap malam, aku menyalakan komputer untuk mengamatinya dari dunia maya. Mengamati segala tingkah lakunya di beberapa jejaring sosial yang dia miliki. Mencari tahu segala sesuatu tentang dirinya. Mulai dari warna kesukaannya, hobinya, alamat rumahnya, keluarganya, masa lalunya, bahkan hingga kehidupannya sekarang. Semua kucari tahu. Atau dengan kata lain, aku mulai memata – matainya. Ah, semakin tidak normal saja diriku ini.
“Nad, lo beneran sayang dia, ya?” tanya Bina suatu ketika. Saat itu aku sedang bercerita padanya. Seperti biasa, cerita tentang Kak Randi serta tentang segala tingkahku yang mulai tak normal.
“Iya, sepertinya. Mungkin.”
“Tapi kenapa harus dia deh? Gue sebel sama Randi. Orangnya gitu, sih.”
“Ya, mau gimana lagi? Gue juga bingung kenapa perasaan gue tertuju buat dia.”
“Tapi kalo lo seneng, gue juga ikut seneng kok.”
Sungguh, aku memiliki sahabat yang baik.
“Hhhh…”
Lagi – lagi menghela nafas. Entah sudah berapa kali dalam beberapa jam terakhir ini. Duduk bersandar pada dinding kamar, tak lelahnya aku memperhatikan layar telepon genggamku. Berharap ada satu pesan baru dari Kak Randi. Entah mengucapkan selamat malam atau mungkin dia yang menyemangatiku kali ini. Entahlah…
Kucoba lawan semua rasa penasaranku. Malam ini aku memang belum melihatnya di dunia maya. Aku berencana untuk belajar dengan serius karena esok hari aku akan kembali berhadapan dengan kertas – kertas dengan belasan pertanyaan. Ulangan harian.
Lelah menunggu pesan yang tak kunjung datang, kulempar telepon genggamku ke atas tempat tidur lalu kuambil buku catatanku. Gerakanku terhenti sejenak. Mataku terpaku pada sebuah inisial nama yang terdapat pada sampul belakang buku catatanku. Sebuah inisial yang terbuat dari kain flannel berlapis dua, dijahit dengan benang berwarna biru. Jahitannya terlihat berantakan.
“Nih, udah gue guntingin. Tinggal lo jahit aja. Masih perlu di contohin, gak?” tanya Audi, di sela – sela obrolan kami. Kali ini dia berperan sebagai guru privatku. Privat menjahit.
“Huruf R? Gak ada yang lebih gampang, Di? Gue kan baru belajar. Tega amat dikasihnya yang susah,” keluhku.
“Nurut aja deh sama gue. Mau bisa atau enggak?” selorohnya sembari mengajarkanku manjahit kain flannel itu. Aku hanya bisa mengangguk pasrah. Demi Kak Randi. Batinku.
Aku tersenyum saat mengenang kembali kejadian itu. Kami berempat –aku, Bina, Audi, dan Luthfi- sedang bersantai di kantin sekolah kami. Kemudian Audi berinisiatif untuk mulai mengajariku menjahit. Dan inilah dia sekarang, inisial nama yang kubuat saat pelajaran pertama menjahitku, masih tersimpan dengan rapi di sini. Di sampul bagian belakang buku catatanku. Aku menghela nafas sejenak, lalu kumulai kegiatan belajarku malam ini. Fokus, Nad. Fokus. Kamu pasti bisa. Bisikku dalam hati.
***
Sabtu malam. Aku kembali dengan rutinitas lamaku. Memata – matainya di dunia maya. Sudah beberapa hari dalam seminggu terakhir ini aku berusaha menjauhkan diri dari komputer demi kelancaran nilai – nilai ulanganku. Malam ini kumulai kembali kegiatan anehku itu. Kubuka satu per satu akun miliknya di beberapa jejaring sosial. Kuperhatikan kegiatannya di dunia maya selama seminggu terakhir ini. Aku tersenyum sendiri. Ya Tuhan… Ada apa dengan diriku?
Mataku terpaku pada akun Kak Randi. Dia online! Tapi… Apa itu? Kenapa dia menulis seperti itu? Ah, mungkin hanya bercanda. Dia kan memang orangnya seperti itu. Pikirku menenangkan diri. Aku beralih ke akun miliknya yang lain. Nyatanya aku lebih kaget saat membaca tulisan di akun tersebut. Kubaca lebih lanjut, mungkin dengan begitu semuanya akan lebih jelas. Dan memang, semuanya menjadi lebih jelas. Sangat jelas bagiku. Perasaan aneh tentang bagian dari dirinya yang tidak kuketahui, kini mendapat penjelasan.
Begitu tersadar, wajahku telah basah oleh air mata. Ya, aku menangis. Dia telah sukses membuatku menangis setelah sekian lama aku tak menangis. Rasanya sesak, sakit. Segera kumatikan komputer. Aku berlari ke kamar. Menangis sejadi – jadinya di sana.
***
Seminggu pun berlalu. Masih saja aku menangisinya. Selalu menangisinya tanpa sadar saat aku melihatnya di dunia maya. Bahkan saat aku melihatnya di sekolah, aku hampir tak bisa menahan tangisku. Beruntung ada teman – temanku. Sehingga aku tetap mencoba untuk tertawa walaupun terpaksa. Pada akhirnya aku tak tahan memendam cerita sebanyak itu sendiri, kuputuskan untuk berbagi dengan Audi dan Luthfi. Saat istirahat sekolah kutemui mereka. Kuceritakan semua yang kualami beberapa hari terakhir ini. Khususnya tentang diriku yang selalu menangisi Kak Randi. Ah, dia telah berhasil membuatku kembali menangis, lebih tepatnya.
“Ngeselin banget kan, si Randi. Pengen gue kasih cap telapak kaki gue ke mukanya deh. Cewe strong kayak lu aja dibikin nangis gitu. Gregetan jadinya.” Komentar Audi.
“Sabar ya, Nad.” Sambung Luthfi.
“Yaudahlah, dia ga salah juga kok. Emang guenya aja yang terlalu ngarep sama dia. Lagian gue emang udah tau dari lama kalo dia suka cewe lain. Jadi ya, semoga aja gue bisa ikhlasin dia,” jawabku mencoba untuk tetap tersenyum. “Makasih ya, udah mau dengerin cerita gue.”
“Terus itu mau dikemanain?” tanya Audi sambil menunjuk bagian belakang buku catatan yang selalu kubawa ke mana – mana itu. Aku melihatnya sekilas.
“Engga ke mana – mana. Biarin aja dia di situ buat jadi semangat belajar gue. Entah kenapa kalo liat itu gue jadi semangat belajar banget.”
“Agak malesin sebenernya ya.”
“Ahahaha…”
***
Malam harinya, aku menceritakan pada Bina semua kejadian yang kualami beberapa minggu terakhir ini. Cerita yang sama dengan yang kuceritakan pada Audi dan Luthfi.
“Ya ampun Nad, sampe segitunya. Lo bener – bener sayang dia, ya.”
“Begitulah. Parahnya gue sekarang pake acara nangis lagi gitu kan. Bener – bener deh. Gue kenapa sih, Bin?”
“Lo lagi jatuh cinta, Nad. Hahaha…”
“Yee, gitu. Eh Bin, gue mau minta tolong dong. Boleh gak?”
“Boleh lah. Ada apa emangnya?”
“Kan lo deket tuh Bin, sama Kak Randi. Gue minta tolong lo ngomong sama dia. Jadi gue bakal agak ngejauhin dia mungkin ya. Gue gak mau mata – matain dia lagi, Bin. Gue gak mau cari tau lagi tentang dia. Gue pengen tenangin hati gue dulu. Abisnya gue pikir – pikir, ga bener banget setiap malam gue nangisin dia. Padahal banyak hal yang harus gue pikirin.”
“Terus?”
“Jadi lo tolong jelasin sama dia. Terserah lo mau ngomongnya apa. Lo mau bilang gue suka dia juga gak apa – apa, Bin. Gue emang udah ga punya muka lagi kok. Asalkan dia gak salah paham sama sikap gue yang kayak gitu ke dia, gak masalah lo mau ngomong apa.”
Hening sesaat. Tak lama, Bina pun muncul kembali.
“Oke, Nad. Udah gue bilangin kok ke orangnya. Sekarang lo boleh melancarkan misi lo. Udah gue jelasin ke orangnya.” Terang Bina. Dan dia pun menghilang.
Aku terdiam di depan komputer. Mataku tertuju pada kalimat terakhir Bina. Mati! Binaaa cerdas banget jadi temen! Gue kan belom mulai ngejauhin dia, kenapa Bina udah ngomong duluan? Haaa…Batinku. Bagaimana aku harus menghadapi Kak Randi? Sudah tak ada keberanian tersisa. Aku benar – benar malu. Entah apa yang akan terjadi esok hari…
***
Beberapa hari berlalu. Tidak ada kejadian yang penting. Sejak Bina menceritakan tentangku pada Kak Randi, aku memang tidak pernah bertemu Kak Randi lagi. Beruntungnya diriku. Namun tetap saja aku waspada. Karena kedatangannya tak bisa disangka. Aku lebih berhati – hati saat sedang berjalan – jalan di area sekolah. Tidak lupa kuceritakan kejadian itu pada Audi dan Luthfi.
“Hahaha…”
“Segitu cerdasnya ya, si Bina.”
“Yee malah pada ketawa. Gimana sih. Parno nih gue, takut ketemu Kak Randi di sekolah.” Jawabku.
“Tenang ajalah, Nad. Sebentar lagi kan dia ke luar kota. Ospeknya kan udah mau mulai. Beruntung deh, dia ga kuliah di sini.”
“Iya sih, tapi kan tetep aja. Masalahnya gak sesederhana itu tau. Udah gitu, dia kadang – kadang dateng ke sekolah buat main. Nanti kalo dia tiba – tiba dateng terus kita papasan gimana? Gue ga mau ketemu dia, malu banget tau.”
“Yaudah sih, Nad. Biasa aja gitu. Santai. Oke?”
Malam ini aku kembali berkutat dengan tugas – tugas sekolah di kamarku. Hampir satu minggu sejak kejadian itu dan aku benar – benar menghentikan kegiatanku memata – matai dia. Aku tidak mau tahu lagi apa yang dia lakukan sehari – harinya. Aku tidak mau terus menerus terlarut dalam kesedihanku. Dan cara itu rupanya cukup berhasil. Aku sudah bisa berhenti menangisi dia, mulai fokus pada sekolahku. Nilai – nilaiku mulai membaik. Dan benar saja, inisial dibagian belakang buku catatanku benar – benar telah membangkitkan semangat belajarku. Semangat yang sempat hilang sejak satu tahun yang lalu. Semangat itu kini kembali kudapatkan, membuat diriku lebih baik lagi di tahun terakhir sekolahku ini.
Dan kuharap dirinya selalu baik – baik saja di sana…
***
Empat tahun kemudian…
“Bin, ada kabar terbaru gak?” tanya Randi.
“Kebetulan banget. Ada, Di. Katanya hari ini Nada wisuda. Dia lulus lebih cepat dari perkiraan. Terus selesai wisuda dia mau main ke Jakarta. Sekaligus reunian sama temen – temen lama.”
Randi tersenyum.
“Kenapa lo?”
“Gak apa – apa, Bin. Hari yang gue tunggu – tunggu setelah sekian lama akhirnya tiba. Dalam hitungan jam gue bakal ketemu lagi sama Nada. Akhirnya…”
“Seneng banget ya lo? Lo bener – bener nungguin dia selama itu?” Bina penasaran. Benarkah Randi memiliki perasaan yang sama terhadap Nada sejak 4 tahun yang lalu? Masihkah Nada menyimpan perasaannya pada Randi? Keningnya berkerut memikirkan itu semua.
“Ya menurut lo aja, Bin.” jawab Randi sambil lalu.
Tak terasa empat tahun telah berlalu. Hari ini adalah hari wisudaku. Aku lulus lebih cepat dari waktu normal mahasiswa serta mahasiswi pada umumnya.
“Nada, selamat ya! Gak nyangka, lo lulus duluan. Padahal kan kita masuknya barengan. Gue ditinggal. Gak asik nih…” Audi menghampiriku begitu aku turun dari panggung. Kami memang satu universitas, walaupun di fakultas yang berbeda. Kami tetap saling berbagi seperti saat di SMA dulu.
“Makanya cepetan lulus, kuliah ngapain lama – lama. Bosen tau, belajar terus. Hahaha…”
“Oh iya, Nad. Katanya nanti sore lo mau ke Jakarta? Jadi kumpul – kumpulnya?”
“Jadi dong. Ikut yuk, udah lama gak ke Jakarta nih. Sekalian ketemu Bina sama Luthfi.”
“Mau ketemu Bina sama Luthfi atau mau ketemu Kak Randi?”goda Audi.
Aku terdiam. Kak Randi. Sudah lama aku tidak membicarakannya lagi dengan Audi atau pun teman – temanku yang lain. Aku berusaha keras untuk melupakannya. Tapi apakah aku sudah bisa melupakannya? Bahkan setelah empat tahun, sepertinya tak ada satupun kenangan yang terlupakan tentang dia.
“Heh! Bengong aja. Bener kan, lo kangen sama Kak Randi?” katanya dengan senyum penuh arti. “Yaudah, gak usah dibahas lagi deh. Kita keluar yuk, ketemu temen – temen yang lain.” Audi menggamit lenganku, berjalan meninggalkan aula yang penuh sesak.
Langit hari ini biru cerah. Matahari tidak terlalu terik, angin bertiup sepoi – sepoi membawa beberapa gumpalan awan berarak. Udara sejuknya begitu khas. Aku tersenyum menatap langit. Perasaan ringan dan tenang hinggap dihatiku. Di bawah langit yang sama, di belahan bumi yang berbeda, aku dan dia –Kak Randi- berjuang mewujudkan mimpi – mimpi kami. Empat tahun telah berlalu, aku tak tahu bagaimana kabarnya hari ini. Audi benar. Aku memang sangat merindukan sosoknya yang apa adanya itu. Sosoknya yang selalu ceria, selalu membuatku tersenyum saat melihat tingkah laku ‘bodoh’nya.
Sejujurnya, selama empat tahun terakhir ini aku tak pernah bisa melupakannya sedikitpun. Aku memang tak pernah mencari tahu tentang dirinya lagi, tak pernah berkomunikasi sejak dia pindah keluar kota. Tapi aku selalu mendoakannya dalam diam, hanya aku yang tahu. Berharap dia selalu baik – baik saja di sana. Berharap dia mendapatkan yang terbaik dalam hidupnya. Aku percaya dan aku yakin akan perasaanku padanya. Untuk itu aku memustuskan tetap menjaga perasaan ini, entah sampai kapan.
Seandainya dia tahu, aku bisa sejauh ini berkat dia. Dia yang telah mengembalikan semangatku, dia yang selalu menjadi motivasiku sampai saat ini. Bahkan inisial namanya yang kubuat empat tahun lalu itu, masih tersimpan rapi di bagian belakang buku catatanku. Masih seperti dulu, selalu kubawa ke mana pun aku pergi. Seandainya dia tahu, saat ini aku sangat ingin bertemu dengannya. Memberitahu dia bahwa aku telah wisuda. Bahwa aku berhasil masuk jurusan yang sangat kusukai, jurusan yang memang telah menjadi minatku sejak aku duduk di bangku SMP. Bahwa aku sangat berterima kasih atas kehadirannya dikehidupanku sejak empat tahun terakhir ini. Berterima kasih atas takdir Tuhan. Yang terpenting, aku ingin bercerita tentang perasaanku padanya. Perasaan yang telah mengubah hidupku hingga sedemikian rupa indahnya. Yang membuat hidupku menjadi lebih baik lagi. Dan bahwa dia telah berhasil -tanpa dia sadari- menjadi semangat baru dalam kehidupanku. Mentor semangatku.
-selesai-
Comments
Post a Comment