Skip to main content

Pancaroba Di Jakarta

Maafkan saya yaaa kalo judulnya terlalu fail. Ini judul jg dapet inspirasi dari orang orang terdekat. Selamat membaca! Reviewnya jangan lupa yaaa hoho :D
-ran


Angin bertiup lembut membelai wajahnya. Awan mendung menghiasi langit. Tetes air hujan sedikit demi sedikit kembali turun membasahi bumi. Namun matahari tetap muncul. Mengintip dari balik awan, tak ingin tempatnya digantikan. Tak mau dirinya terusir. Tak rela masanya telah habis. Lalu digantikan oleh awan – awan pembawa air di musim penghujan…
Jauh dibawah sana –dibawah perdebatan matahari dan awan- di atas permukaan bumi, seorang anak manusia duduk termenung menatap langit. Disamping gundukan tanah, meratapi langit yang menangisi dirinya, seperti ia menangisi gundukan tanah disampingnya.
***
Perjalanan yang cukup melelahkan, diantara derasnya hujan. Demi menghemat, ia rela berjalan kaki sampai ke rumah kontrakan kecilnya. Rumah yang terletak di dekat pusat kota Jakarta, mungil namun tetap asri. Rumah yang sangat nyaman untuk ditinggali oleh dua orang, ia dan gadis itu.
“Ya ampun, kehujanan lagi? Kenapa gak berteduh dulu?” sambut gadis itu ketika membukakan pintu.
“Kalau aku berteduh dulu, kapan sampai rumahnya? Lagipula sudah malam, nanti gak ada kendaraan umum yang lewat.” Jawabnya, dengan sedikit alasan tentunya.
“Ya sudah, mandi dulu sana. Aku udah masak kok. Nanti kita makan sama – sama, ya.”
“Oke.” Ia beranjak mengambil handuknya.
“Mas Setya…” panggil gadis itu. Setya pun menoleh, “Hm?”
“Aku sayang Mas Setya,” ia hanya tersenyum. “Tapi aku lebih sayang sama hujan.” Lanjut gadis itu lagi, sembari menjulurkan lidahnya. Setya membalasnya, lalu bergegas mandi. Ia tak ingin mengecewakan malaikat kecilnya yang telah memasakkan makan malam untuknya.
***
“Kamu kenapa suka hujan, sih? Hujan kan basah, Cuma ngerepotin kita aja.” Tanya Setya suatu hari. Saat itu malam kembali hujan, dingin, sepi. Memberikan waktu luang bagi mereka untuk saling berbagi.
“Karena hujan itu basah, dingin. Airnya membantuku mengirimkan pesan tak tertulis untuh ayah dan ibu. Anginnya selalu bisa menenangkan hatiku, terlebih disaat aku sendiri.” Mimik wajahnya sedikit berubah. Keruh.
Refleks, Setya memeluk gadis mungil disebelahnya itu. “Maafin Mas, ya. Mas terlalu sibuk sama kegiatan Mas sendiri. Lupa kalau ada kamu di sini yang butuh teman.”
Hening. Lama tak ada respon. Hanya rintik hujan yang mulai reda, yang masih terdengar. Angin malam berhembus pelan. Setelah beberapa menit berlalu, Setya baru menyadari, gadis ini pingsan! Dengan sigap ia bawa gadis itu ke rumah sakit terdekat.
“Bagaimana keadaannya, dok?”
“Kesehatannya mulai memburuk. Leukimia yang di deritanya semakin parah. Sekarang sudah stadium 4. Dia harus mulai menjalani kemoterapi.” Jelas dokter itu singkat.
***
Satu tahun berlalu. Kemoterapi semakin rutin. Namun semakin lama, semakin memburuk kondisinya. Efek dari kemoterapi pun mulai terlihat. Rambutnya rontok perlahan, tubuhnya terlihat semakin kecil, namun senyumnya tetap disana. Tetap pada tempatnya seperti satu tahun yang lalu.
“Lha, kalau mas Setya gak suka hujan, berarti mas Setya sukanya langit yang cerah dong?” tanyanya suatu hari.
“Gak juga sih. Mas gak suka yang panas atau yang dingin, yang biasa aja. Tengah – tengah gitu lho.”
“Gak bisa gitu dong, Mas. Hidup ini pilihan. Tuhan selalu memberikan dua jalan lalu kita harus memilih. Panas atau dingin, besar atau kecil, hitam atau putih, bahkan mungkin sepertiku, hidup atau mati” jawabnya seraya menundukkan kepala.
“Kamu gak boleh ngomong gitu. Pamali, tau!”
“Aku tau kok Mas, hidupku gak lama lagi. Makanya aku gak mau terapi lagi. Aku gak sakit di sisa umurku ini. Aku pengen bisa berbagi senyuman buat Mas,” ia mengangkat kepalanya, kemudian tersenyum. “Aku harap aku masih bisa bertahan sampai awal musim penghujan nanti. Aku ingin melihat hujan lagi. Melihat matahari yang perlahan kehilangan eksistensinya kemudian digantikan oleh hujan. Menikmati ketenenangan yang dibawa oleh angin.”
Setya memeluknya, erat.
“Aku pengen kita bisa kumpul lagi kayak dulu, Mas. Ayah, ibu, Mas Setya, aku. Supaya Mas Setya gak kesepian, supaya Mas Setya gak sendirian. Aku mau ke tempat Ayah dan Ibu untuk terakhir kalinya, sebelum aku menghembuskan nafas terakhir…”
Setya mengangguk, mengiyakan. Berjanji dalam hati akan mengabulkan permintaan terakhir adik tercintanya. Malam itu, rintik air pertama jatuh dari langit. Setelah sekian lama kemarau ‘menduduki’ bumi. Rintik hujan jatuh bersamaan dengan air mata haru. Setya semakin mengerti dan menyayangi adiknya…
***
Hari ini, tepat tiga tahun lalu setelah percakapan terakhir itu. Keesokan paginya, tubuh Dita telah kosong. Ruhnya telah pergi. Meninggalkan bumi, tepat setelah mereka melihat rintik hujan pertama. Tepat saat dimulainya pergantian musim, pancaroba…
Hari ini, duduk disamping makam Dita, ditemani rintik hujan yang semakin deras, Setya mengucapkan salam perpisahan pada adiknya itu. Ia akan pergi ke tempat ayah dan ibu mereka berada, ayah dan ibu mereka yang selama ini mereka cari. Ayah dan ibu yang telah menghilang sekian tahun.
“Terima kasih, Dita. Kamu yang membuat Masmu ini bertahan sampai sekarang. Malaikat kecil, adikku tersayang,” ia tersenyum. “Hari ini Mas mau menemui Ayah dan Ibu. Maaf kita gak bisa pergi berdua, tapi Mas tau kamu pasti selalu mengawasi Mas dari sana…”
Gerimis kecil telah berubah sepenuhnya menjadi hujan deras. Setya melangkah pergi, menjauhi pemakaman. Langkahnya ringan, seringan hatinya saat itu.
Selamat tinggal Ibukota. Sampai bertemu lagi, Adikku. Halo hujan! Kini aku menyukaimu. Berterima kasihlah padanya, Dita… Sumber inspirasi hidupku.

-selesai-

Comments