Masih di latar yang
sama. Keadaan yang sama. Peran yang sama. Warna yang sama. Perasaan yang—sama. Hanya pikiran yang berbeda. Bukan,
bukan karena aku telah memilih hal yang sepenuhnya berbeda. Bukankah sudah
kukatakan keadaannya (masih) sama? Serupa dengan abu-abu, layaknya sebuah enggan…
Maka (masih) seperti
itulah diriku. Ketika kesadaran sepenuhnya memilih putih. Membuka jalan
bersama, ah, sebut saja ia cahaya. Sinar yang selalu setia menemani. Tapi toh,
tak ada yang abadi bukan? Akan ada saatnya bunga menjadi layu, rerumputan
menjadi kering. Akan ada masanya, matahari digantikan oleh bulan. Begitu juga
dengan cahaya. Ketika waktunya telah habis, gelaplah yang akan
mengambil alih semuanya. Semua, tanpa terkecuali, kesadaranku.
Ketika itulah, aku kembali
pada batasnya. Batas yang memisahkan putih dan hitam, diam dan bergerak,
bertahan dan menyerah. Langkahku terhenti—selalu di ambang batas itu. Ingin
sekali mundur, menyerah terhadap magnet yang menarikku.
Untuk
apa?
Satu pertanyaan kecil
menyelinap. Ah, rupanya sebagian kecil kesadaranku masih ada. Tidakkah kau
ingin menyerah saja? Sama seperti—entah berapa banyak bagian diriku yang lain.
Menyerah satu per satu, meronta, menginginkan kebebasan, ingin kembali… Salahkah?
Lalu
apa?
Apa artinya memilih salah
satu? Kalau pada akhirnya akan tetap diantaranya. Apa gunanya cahaya? Kalau pada
akhirnya gelap bisa mengambil alih. Untuk apa bertahan? Kalau pada akhirnya
akan menyerah perlahan.
Setelah sekian lama,
semua yang kulakukan hanya sekedar untuk membunuh waktu—yang nyatanya sulit
untuk dibunuh. Semuanya seperti baik-baik saja, semuanya menjadi baru. Aku terlihat terus bergerak, meninggalkan
tempat yang kusebut sebagai kenangan. Aku kembali menemukan percepatanku. Tapi
apa? Ketika acuan itu diubah, nyatanya aku tetap diam. Selalu memandangi tempat
itu—kenangan itu. Statis.
Mungkin akulah
satu-satunya orang yang memiliki kelainan jiwa ke-999. Kelainan yang tak dapat
didefinisikan oleh para ahli, para ilmuwan, dokter, perawat, siapapun itu. Pun
oleh diriku sendiri. Bahkan, terkadang pertanyaan konyol timbul dibenakku.
Siapa aku?
Aku yang statis. Aku
yang bahkan tak mengenali diriku sendiri. Aku yang selalu kembali untuk memilih
dan memilih untuk kembali. Aku yang telah begitu lelah, hingga tak bisa
merasakan lelah—apa itu lelah? Aku yang segera hancur jika bersentuhan
dengan—kenangan itu. Aku yang akan selalu berada—diantara.
Ah, kapan semua ini
akan berakhir?
-ran
Comments
Post a Comment