Skip to main content

Diantara --part 3 of "Angin dari Masa Lalu"

Masih di latar yang sama. Keadaan yang sama. Peran yang sama. Warna yang sama. Perasaan yang—sama. Hanya pikiran yang berbeda. Bukan, bukan karena aku telah memilih hal yang sepenuhnya berbeda. Bukankah sudah kukatakan keadaannya (masih) sama? Serupa dengan abu-abu, layaknya sebuah enggan
Maka (masih) seperti itulah diriku. Ketika kesadaran sepenuhnya memilih putih. Membuka jalan bersama, ah, sebut saja ia cahaya. Sinar yang selalu setia menemani. Tapi toh, tak ada yang abadi bukan? Akan ada saatnya bunga menjadi layu, rerumputan menjadi kering. Akan ada masanya, matahari digantikan oleh bulan. Begitu juga dengan cahaya. Ketika waktunya telah habis, gelaplah yang akan mengambil alih semuanya. Semua, tanpa terkecuali, kesadaranku.
Ketika itulah, aku kembali pada batasnya. Batas yang memisahkan putih dan hitam, diam dan bergerak, bertahan dan menyerah. Langkahku terhenti—selalu di ambang batas itu. Ingin sekali mundur, menyerah terhadap magnet yang menarikku.
Untuk apa?
Satu pertanyaan kecil menyelinap. Ah, rupanya sebagian kecil kesadaranku masih ada. Tidakkah kau ingin menyerah saja? Sama seperti—entah berapa banyak bagian diriku yang lain. Menyerah satu per satu, meronta, menginginkan kebebasan, ingin kembali… Salahkah?
Lalu apa?
Apa artinya memilih salah satu? Kalau pada akhirnya akan tetap diantaranya. Apa gunanya cahaya? Kalau pada akhirnya gelap bisa mengambil alih. Untuk apa bertahan? Kalau pada akhirnya akan menyerah perlahan.
Setelah sekian lama, semua yang kulakukan hanya sekedar untuk membunuh waktu—yang nyatanya sulit untuk dibunuh. Semuanya seperti baik-baik saja, semuanya menjadi baru. Aku terlihat terus bergerak, meninggalkan tempat yang kusebut sebagai kenangan. Aku kembali menemukan percepatanku. Tapi apa? Ketika acuan itu diubah, nyatanya aku tetap diam. Selalu memandangi tempat itu—kenangan itu. Statis.
Mungkin akulah satu-satunya orang yang memiliki kelainan jiwa ke-999. Kelainan yang tak dapat didefinisikan oleh para ahli, para ilmuwan, dokter, perawat, siapapun itu. Pun oleh diriku sendiri. Bahkan, terkadang pertanyaan konyol timbul dibenakku. Siapa aku?
Aku yang statis. Aku yang bahkan tak mengenali diriku sendiri. Aku yang selalu kembali untuk memilih dan memilih untuk kembali. Aku yang telah begitu lelah, hingga tak bisa merasakan lelah—apa itu lelah? Aku yang segera hancur jika bersentuhan dengan—kenangan itu. Aku yang akan selalu berada—diantara.

Ah, kapan semua ini akan berakhir?

-ran

Comments