Skip to main content

Dua Mimpi

Akhirnya, ngepost cerpen lagi setelah sekian lama. Gak perlu dihitung, lama banget pokoknya. Well, ini salah satu karya yang gue bikin...beberapa tahun yang lalu, mungkin? Hahaha. Sengaja gak langsung gue post karena lagi gue ikutin lomba. Pas udah selesai lombanya malah lupa ngepost. Alhamdulillah, terpilih sebagai salah satu kontributor untuk dibukukan dan diterbitkan. Kritik serta saran yang membangun sangat diterima. Enjoy! :)
***

Dua Mimpi
Oleh: Rani Harnila


Tahukah kamu, rasanya berada di puncak tertinggi sebuah gunung dan melihat pemandangan yang begitu indah? Langit, awan, hamparan pepohonan hijau, atap-atap rumah yang terlihat kecil dari kejauhan. Saat sedang menikmati semua itu, kamu tergelincir ke arah jurang. Berguling-guling di atas pasir dan bebatuan besar. Sakit.
Tiba-tiba sebuah uluran tangan meraih tanganmu, membuatmu bertahan dalam posisi curam itu. Kamu bertahan hanya padanya, kemudian dia meyakinkanmu untuk meraih pegangan yang lain. Meyakinkanmu bahwa aman untuk berpegangan pada akar pohon yang menyembul tepat di sebelah tubuhmu. Ketika kamu hampir meraih akar pohon itu, dia melepaskan genggamannya begitu saja. Tanpa aba-aba, tanpa peringatan. Kamu pun kembali berguling tanpa henti menuju dasar jurang yang entah kapan akan berakhir. Adakah sebuah kata yang memiliki arti lebih dari sebuah sakit?
***
“Maaf anda kurang beruntung. Jangan berputus asa dan tetap semangat. Gitu katanya. Mau nangis banget tapi gak bisa, semalam nangis terlalu lama. Air mataku sepertinya habis.”
“Betul kok, apa yang mereka bilang. Kamu harus tetap semangat. Lagipula kamu bisa kuliah di tempat lain. Yang penting itu ilmunya, bukan tempatnya.” Dia masih berusaha menyemangatiku.
“Iya, tau kok. Tapi berat juga lepas gitu aja. Kamu ngerti, kan? Sebuah mimpi yang telah dimimpikan bertahun-tahun, bukan hanya satu atau dua malam saja. Hanya dengan sehari harus rela melepasnya? Itu berat.”
“Aku gak nyuruh kamu untuk lupain cuma dalam sehari. Aku cuma mau kamu semangat lagi, berjuang lagi dengan apa yang kamu punya sekarang. Daripada kamu nangis, kenapa kamu gak berdoa serta berusaha. Yakinkan diri kamu kalau kamu bisa tanpa tempat itu.”
“Iya, ngerti. Oke akan aku coba.”
“Nah, begitu dong. Ayo, senyum!”
Senyumnya hari itu kembali membuatku bersemangat. Membuatku bertahan, meyakinkanku agar terus berjuang. Senyumnya hari itu, membuatku kuat.
***
Kata-kata semangat selalu ada setiap hari untukku. Menyemangatiku agar aku tetap berjuang di sini. Di tempat asing, di tempat yang tak kuinginkan sama sekali. Tak pernah dia mengeluh atas emosiku yang tidak stabil. Terkadang sangat senang, terkadang sangat sedih. Tapi saat itu datang juga. Saat dimana pegangan tangannya tak seerat dulu. Saat ketika tubuhku mulai merosot turun perlahan-lahan. Saat dimana dia melepaskan pegangan tangannya perlahan-lahan.
“Apa kabar hari ini? Bisa gak tesnya?”
“Lumayan. Gitu, deh.”
“Kamu kenapa? Sedih lagi? Ingat hal itu lagi?”
“Gak kok, biasa aja. Bener, deh.”
“Ada apa, sih?” aku hanya bisa menggeleng pelan. Dia pikir aku tak tahu apa-apa?
Akhirnya, aku memutuskan untuk bicara langsung padanya. Mengungkapkan apa yang kupikirkan, apa yang kurasakan. Aku tak tahan bila harus berdiam diri, berpura-pura tak tahu apa yang terjadi padahal aku tahu banyak hal. Lebih dari cukup.
“Kamu gak perlu lagi memberiku semangat. Aku sudah baik-baik saja dan akan selalu baik-baik saja.”
“Memangnya kenapa? Ada yang salah? Maaf kalau begitu.”
“Gak ada, kok. Salah itu ketika aku menganggap kamu lebih. Ketika ternyata mimpiku bukan hanya satu, tapi ada dua.”
“Maksudmu apa? Aku gak ngerti.”
“Kamu gak perlu ngerti, kok. Gak apa-apa. Makasih ya, buat semuanya. Oh iya, selamat.” Aku tersenyum padanya untuk yang terakhir kali.
Tidak lama setelah kejadian itu, aku mendapat kabar dari temanku bahwa dia sudah tak pernah membicarakanku lagi seperti biasa. Bahwa sebenarnya saat itu dia mengerti, tapi dia tidak mau mengakuinya karena tidak enak hati padaku. Aku kembali terguling ke dasar jurang dengan suksesnya. Kali ini, tanpa ada lagi yang mengulurkan tangan untukku.
***
Sejak saat itu, aku berusaha bangkit sendiri. Sendiri, karena hanya dia yang tahu bahwa aku terjatuh. Karena orang lain melihat bahwa aku tetap di sini, baik-baik saja di atas sini. Tapi lihatlah, bukankah keadaanku sekarang tak bisa lebih buruk lagi? Mengikuti berbagai kegiatan, menjalani banyak kesibukan, mengalihkan seluruh hati dan pikiran, mencoba bangkit dan menuju tempat di atas sana.
Berusaha semampuku, melupakan dua mimpi yang telah lama terpendam dan tak ada kesempatan untuk mewujudkannya. Mencari mimpi yang lain, kesempatan yang lain. Hingga akhirnya kini aku mendapatkan mimpi yang lebih baik. Keadaan yang lebih baik lagi dari yang bisa kubayangkan.
“Ayo, senyum!”

Comments

  1. itu jangan berputus ada? typo ya? :p , gue koreksi :)
    mimpi kedua yang gagal itu cinta bukan sih?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wokeee udah dibenerin kok hehe makasih koreksinyaa :)
      Yap, betul sekali bapak~

      Delete

Post a Comment