Karya yang lain lagi. Udah lama juga sih bikinnya. Waktu masih tingkat satu sepertinya. Cuma buat iseng haha. Cerpen kali ini terinspirasi oleh bapak yang hampir setiap hari gue temui ketika berangkat pagi ke kampus. Beliau sering duduk bersantai di trotoar dekat asrama. Udah lama banget gak pernah lihat bapak ini lagi. Sedih gak ada lagi yang semangatin tiap pagi :( Well, kritik, saran dan hal lain yang bisa membuat karya gue lebih baik lagi ke depannya, sangat diterima. Selamat membaca! :)
Selamat
Pagi!
Oleh: Rani Harnila
Halo, Kawan. Mungkin hanya sekedar itu aku bisa menyapa
kalian. Maaf, bukan maksudku sombong, tapi memang aku tak tahu harus berkata
apa. Aku terkadang bingung apakah ini siang atau malam, aku tak tahu apakah
diriku ini sedang baik-baik saja atau sedang berada dalam kondisi terburukku.
Bisakah kalian mengajariku? Ah, lupakan, Kawan. Aku tidak benar-benar
membutuhkan semua pengertian itu, kok. Kali ini aku hanya ingin berbagi. Sebagian
kecil dari kisah yang telah kualami sepanjang hidupku.
***
Sejak aku lahir, aku memang sudah tinggal di sini. Begitu
kata ibu. Bahkan sejak aku belum mengerti dunia, yang kutahu hanyalah aku di
sini bersama ibuku dan tanpa ayahku. Di sini, di tempat ini, kami beristirahat,
kami tidur, kami berlindung dari hujan dan terik, kami mencari makan. Kami
berjuang menyambung hidup di sini. Sering ibu terpaksa meninggalkanku dan
saudara-saudaraku karena ia harus mencari makan untuk kami di tempat yang
berbahaya. Saat itu kami belum bisa apa-apa, hanya bisa menunggu.
Ketika kami –aku dan saudara-saudaraku- beranjak dewasa,
kami pun harus membantu ibu mencari makan. Kami berpencar, menuju tempat-tempat
yang kelihatannya terdapat banyak makanan, terutama makanan gratis. Kami tak
akan sanggup bila harus membayar semua makanan yang kami ambil. Jangan tanyakan
mengapa, aku pun tak tahu. Aku bahkan tak tahu apa itu uang, Kawan.
Ketika kami sudah cukup umur –menurut ibu-, kami
diharuskan untuk hidup masing-masing. Melakukan perjalanan sendiri-sendiri.
Satu per satu, saudara-saudaraku meninggalkanku. Ibu pun begitu. Hanya aku yang
tetap berdiam di sini, tak mengerti maksud dari kejadian ini. Tak mengerti
mengapa aku dipermainkan oleh keadaan. Tetap di sini, berharap semuanya akan
kembali. Suatu saat nanti.
***
Pagi ini, aku dibangunkan oleh cahaya matahari yang tanpa
permisi masuk melewati celah dinding rumahku. Sopan sekali ia, membuat mataku
silau namun tetap tersenyum di atas sana. Bersemangat menyinari segala
aktivitas yang terjadi di bawahnya. Memberikan sinarnya untuk kehidupan.
Keluar dari rumah, aku disambut oleh hangatnya senyum Si
Tua Saman. Ia selalu di sini dengan setianya menjaga rumahku. Mungkin bisa
dibilang bahwa dialah rumahku. Si Tua Saman selalu menjadi tempatku kembali
setelah seharian penuh berkeliling. Ia menjadi tempatku beristirahat, berkeluh
kesah berbagi cerita. Ia seperti sebuah memori yang mampu menampung ribuan
cerita. Setiap malam sebelum tidur, ia selalu menceritakan sebuah kisah padaku.
Seakan tak pernah habis cerita-cerita miliknya.
“Bagaimana tidurmu semalam? Nyenyakkah?”
“Seperti biasa, Sam. Aku akan terbangun bila udara dingin
menggangguku. Bisakah kau memperbaiki dinding kecil itu? Celahnya sudah cukup
besar hingga bisa dimasuki oleh udara dingin serta sinar matahari.”
“Tentu tidak. Bukan aku yang bisa memperbaikinya. Tunggu
saja seseorang atau sesuatu akan menolongmu nanti. Hingga saat itu tiba,
bersabar dan bersyukurlah. Setidaknya kamu masih memiliki tempat tinggal
bukan?” jawab Saman sambil tersenyum. Yah, ia selalu bisa membuatku merasa
sedikit lebih baik.
“Baiklah. Aku pergi dulu, ya!”
Seperti biasa, pagi hari aku mulai mencari sarapan.
Hingga siang nanti, aku hanya akan berjalan-jalan menikmati sejuknya udara
pagi. Setelah berhasil mendapatkan makan siang, aku akan kembali dan
menghabiskan waktu dengan bermalas-malasan bersama Si Tua Saman. Siapa yang
ingin berjalan-jalan di bawah teriknya matahari? Orang-orang itu pun malas
walau sekedar untuk membeli makan. Mereka lebih memilih menyuruh penjual untuk
mengantarkan makanannya.
Pernahkah kalian terpikir, telah berapa lama Si Tua Saman
tinggal di tempat itu? Jangan coba tanyakan padaku, itu tak akan memberikan
penyelesaian pada kalian. Aku pun selalu salah dalam hal itu. Ketika kupikir ia
telah berada di situ sejak sepuluh tahun yang lalu, maka ia akan mengatakan
bahwa ia sudah ada di sana ketika jalan dihadapannya masih berupa tanah. Ketika
kupikir ia lebih tua dari itu, maka ia akan mengatakan bahwa ia sudah ada di
sana ketika orang-orang masih mengenakan sehelai kain.
Maka seberapa tua Si Tua Saman, tak perlu dipikirkan
lagi. Biarlah itu menjadi rahasianya pribadi. Hanya ia dan Tuhan yang tahu.
Tapi yang paling membuatku tertarik adalah kenyataan bahwa ia berada di sana
sebagai saksi ketika ibu bertemu dengan ayah. Saksi hidup ketika malam hari aku
dilahirkan. Ya, kami –aku dan saudara-saudaraku- dilahirkan pada malam hari.
Ketika sekeliling telah sunyi, ketika tiupan angin membuat tubuh menggigil, ibu
berjuang melahirkan kami. Si Tua Saman berjanji akan menceritakan semuanya
padaku saat aku telah siap –menurutnya- nanti. Ketika saat itu tiba, aku lebih
memilih untuk tak tahu apa-apa.
***
Hariku tak pernah sama lagi sejak aku tahu apa yang
terjadi pada diriku. Si Tua Saman telah menceritakan semuanya. Bagaimana ibu
dan ayah bertemu di siang itu. Bagaimana ketika ibu melahirkan kami. Bagaimana
ketika ayah memutuskan untuk meninggalkan ibu dan tak kembali. Bagaimana ketika
mereka semua memutuskan untuk pergi sedangkan aku tetap di sini. Nyatanya, ibu
memang akan selalu begitu. Merawat kami hingga kami cukup besar dan mampu hidup
sendiri-sendiri. Kemudian ia pergi, bertemu ayah yang lain lagi, melahirkan
adik-adikku lagi. Begitu seterusnya.
Lalu untuk apa aku ada di sini? Tak bisakah aku lahir
dari orang tua yang lebih baik lagi? Si Tua Saman bahkan tak tahu harus
menjawab apa. Senyumnya, teduhnya, bijaknya, tak bisa membuatku merasa lebih
baik kali ini. Pernah ia berkata, “tak perlu pikirkan masa lalu. Pikirkan apa
yang ada di depanmu. Bersyukurlah kamu punya yang lebih baik dari masa lalu,
yaitu masa kini. Lagipula aku selalu ada menemanimu, Kecil,” tak membuatku lebih
baik bahkan membuatku semakin parah. Rasanya seperti aku sendiri ditengah keramaian.
Yah, walaupun aku memang selalu sendiri, kecuali jika aku bersama Si Tua Saman.
Ada satu kejadian yang mengubah semuanya. Perlahan-lahan
membuatku merasa lebih baik. Membuatku bangkit, bersemangat, kembali ceria.
Suatu hari, saat aku kembali dari jalan-jalanku, aku melihat seorang bapak tua
sedang duduk di pinggir trotoar dekat Si Tua Saman. Bapak itu menarik
perhatianku. Beliau membawa dua kantung hitam yang berisi botol-botol plastik.
Dipilahnya botol-botol itu dengan teliti. Dirapikannya, kemudian dimasukkannya
kembali kedalan kantung hitam itu.
Aku mendekat kemudian duduk disebelahnya. Sepertinya
beliau tidak menyadari kehadiranku, tetap asik dengan botol-botol itu. Jika ada
orang yang lewat di depannya, beliau tersenyum kemudian menyapa mereka,
“selamat pagi,” katanya. Bukan hanya satu atau dua orang, tapi semua orang
beliau sapa. Semua orang! Betapa ramahnya bapak ini. Aku semakin penasaran
padanya.
Malam harinya, aku segera bertanya pada Si Tua Saman
tentang bapak tua yang sedari pagi hingga siang duduk di dekatnya.
“Sam, apa kamu mengenal bapak tua itu?” tanyaku antusias.
“Aku mungkin tidak mengenalnya dengan baik, tapi aku tau
sedikit tentangnya.”
Sudah kuduga, Sam –panggilan akrabku untuk Si Tua Saman-
pasti tahu tentang hal-hal yang terjadi di sekelilignya. “Bisa kau ceritakan
padaku?” pintaku.
“Ya. Beliau sering lewat sini ketika kamu sedang
jalan-jalan. Itu sebabnya kamu baru melihatnya hari ini. Aku juga heran, kenapa
beliau datang sepagi itu. Setiap mampir, beliau memang selalu membawa kantung
berisi botol-botol plastik. Sepertinya memang itu pekerjaannya. Mengumpulkan botol-botol
plastik bekas.” jelas Sam.
“Aku senang melihat bapak itu. Aku senang ketika beliau
tersenyum menyapa para pejalan kaki. Ramah sekali”
“Setuju! Aku senang sekali saat melihatnya seperti itu.
Orang-orang itu, mereka yang terlihat ‘lebih baik’ sepertinya malas hanya untuk
sekedar berbagi senyuman.”
“Ya, kau benar, Sam.”
***
Hari ini, entah hari ke berapa bapak itu kembali
berkunjung. Beberapa minggu terakhir, beliau rajin datang ke sini. Terkadang
beliau membawakanku makanan. Senang sekali rasanya. Aku tidak perlu berjalan
jauh hanya untuk mencari makanan. Bapak itu juga senang mengajakku bermain. Aku
tidak sendiri lagi. Aku mempunyai teman baru. Mungkin keluarga baru, lebih
tepatnya. Beliau menggantikan keluarga yang telah lama meninggalkanku di sini.
Tak tahu kapan mereka akan kembali.
“Lang, kamu hati-hati ya di sini. Jangan pergi jauh-jauh,
nanti saya susah mencarimu. Setiap siang tunggu saja saya di sini. Saya pasti
datang membawakan makan siangmu. Saya sudah berjanji pada istri saya untuk menjagamu.”
Senang sekali mendengarnya berkata seperti itu. Itu
artinya setiap siang hari aku tidak perlu pergi jauh hanya untuk mencari makan
siang. Tak perlu berdesak-desakkan dikeramaian. Tak perlu berlari-lari jika
ketahuan aku mengambil makanan dari toko daging. Sepertinya hidupku akan membaik.
***
Setiap hari aku selalu menunggu bapak itu datang. Setiap
hari pula beliau selalu datang tepat waktu. Membawakanku makanan, mengajakku
bermain. Melihat makanan yang beliau bawa membuatku berpikir dari mana beliau
mendapatkan uang untuk membeli semua makanan itu? Atau beliau hanya memintanya
di tempat makanan gratis seperti yang selama ini kulakukan? Ah, bagaimana pun
cara beliau mendapatkan makanan itu, aku tetap berterima kasih. Untuk itu aku selalu
berusaha menjadi yang terbaik untuknya.
Sudah dua hari ini beliau tidak datang ke sini. Aku
menunggu hingga sore, hingga aku tertidur, hingga aku memutuskan untuk
mencarinya di sekitar rumahku. Bodoh sekali diriku, kenapa tidak bertanya di
mana beliau tinggal? Atau setidaknya aku mengikutinya pulang ke rumah. Sehingga
aku bisa berkunjung ketika beliau tidak bisa berkunjung ke rumahku. Sudahlah.
Bapak itu pasti datang lagi. Sam menyuruhku untuk bersabar karena memang akan ada
saatnya bapak itu tidak bisa datang ke sini. Sam pernah memberitahuku.
“Kamu kenapa, Cil? Tidak perlu khawatir begitu. Bapak itu
pasti akan datang besok. Bila tidak, beliau akan datang lusa.” Sam
menenangkanku.
“Bagaimana kalau beliau lama sekali tidak datang ke sini?
Mungkin sudah lupa denganku.”
“Tidak mungkin. Percaya padaku. Bapak itu pasti datang
walaupun aku tidak bisa memastikan kapan.”
“Kamu tahu dari mana?”
“Entahlah. Perasaanku berkata begitu.” Kemudian Sam
kembali tertidur.
***
Benar saja. Bapak itu kembali mengunjungi kami, datang
dan membawa makanan buatku. Tapi tidak serutin dulu, akhir-akhir ini beliau
jarang datang. Ketika besok beliau datang, mungkin lusa beliau tidak datang.
Tapi tak apalah. Setidaknya beliau tetap datang, menemaniku bermain di sini.
Aku tidak lagi kesepian ketika hari masih terang.
Sayangnya beliau tidak pernah mengizinkanku ikut ke
rumahnya. Terlalu jauh, katanya. Beliau hanya mengizinkanku mengantarnya
setengah perjalanan. Setelah itu aku harus kembali pulang karena matahari akan
segera digantikan oleh bulan. Ibuku pernah mengatakan, bahwa aku harus sudah di
rumah sebelum gelap. Walaupun gelap menyenangkan bagiku, tapi menurut ibu,
orang-orang di luar sana akan lebih berbahaya ketika gelap datang.
“Sam, ada apa dengan gelap? Bukankah gelap itu menyenangkan?
Kita bisa melihat sisi lain yang tidak bisa kita lihat ketika matahari masih di
atas sana.” Tanyaku sambil memandang langit.
“Memang benar katamu. Aku pun selalu suka gelap. Aku pun
suka terang. Aku suka memerhatikan apa yang terjadi disekelilingku. Mengamati
mereka, mengambil pelajaran dari mereka. Tapi, gelap tidak selamanya baik. Akan
ada bagian dari gelap yang tidak ingin kamu ketahui sedikitpun.”
“Lalu kenapa orang-orang senang keluar saat gelap? Apa
yang mereka lakukan di luar sana?” aku masih penasaran, bukankah rumah selalu
lebih baik?
“Kau yakin ingin tahu?” sebagai jawaban, aku mengangguk
mantap. “Mereka yang keluar malam hari adalah orang-orang yang sulit didekati.
Beberapa dari mereka malah membahayakan. Beberapa yang lain tidak begitu, tapi untuk
mendekatinya saja kamu pasti takut. Mereka punya sisi lain kehidupan yang tak
akan kamu lihat saat hari masih terang. Kurasa bapak tua itu termasuk salah
satunya. Tapi beliau lebih memilih keluar rumah ketika matahari telah mengintip
di timur. Oleh karena itu beliau sering mampir ke sini ketika matahari belum
begitu tinggi. Baiklah, biar kuceritakan sebuah kisah. Ini sudah cukup lama,
semoga aku masih ingat detail ceritanya.”
Malam itu, aku tertidur dengan banyak pertanyaan memenuhi
kepalaku.
***
Untuk kesekian kalinya, bapak itu tidak datang lagi dalam
jangka waktu yang cukup lama. Lebih lama dari sebelum-sebelumnya ketika beliau
tidak bisa datang ke sini. Itu membuatku semakin khawatir. Ada apa dengan
beliau? Aku tidak bisa mengunjungi rumahnya. Aku harus bagaimana?
“Bagaimana ini, Sam? Mana bisa aku sabar dan tenang kalau
seperti ini.” Aku panik, berjalan mondar-mandir
di depan Sam.
“Aku juga tak tahu. Jangan panik begitu, Cil. Aku jadi
ikut panik. Belum pernah bapak itu tidak datang ke sini atau lewat di depanku
hingga selama ini.” Sam menghela nafas kuat-kuat tanda ia panik. Tapi justru
helaan nafasnya membuat sekeliling kami menjadi sejuk ditengah teriknya
matahari.
“Entah, Sam. Sejak tadi aku sudah mencarinya. Mulai dari
sini hingga ke tempat biasa aku mengantarnya, beliau tetap tidak ada. Aku pergi
ke tempat biasa aku mencari makan, beliau tidak ada.”
“Untuk apa kamu pergi ke sana?”
“Mungkin saja beliau sedang mencarikan makanan untukku
sebelum datang ke sini.”
“Kamu lapar, ya?” tatapnya menyelidik.
“Iya, hehe…” jawabku sambil tersenyum.
Kami asik mengobrol hingga tidak memerhatikan sekitar.
Ketika aku sadar, sudah banyak bunga disekeliling kami. Bukan hanya di dekatku
dan Sam, bunga itu juga ada di dekat rumahku, bahkan di sepanjang trotoar jalanan
ini. Semakin membuatku bingung ketika melihat wajah mereka yang meletakkan
bunga di trotoar. Mereka terlihat sedih. Ada apa sebenarnya?
“Padahal gue selalu semangat lagi setiap ketemu Pak Lana.
Dia ramah banget, selalu menyapa setiap ketemu. Pasti bilang selamat pagi terus
senyum.”
“Iya. Sepertinya bukan cuma kita aja yang terinspirasi
sama bapak itu. Banyak orang lain yang juga sedih ketika tahu Pak Lana
meninggal. Lihatlah bunga-bunga itu.”
“Bunga-bunga bertebaran di sepanjang trotoar. Entah awalnya
di mana. Sepertinya sepanjang jejak langkah Pak Lana selama ini.”
“Ya, sepertinya begitu.”
Kudengar percakapan dua orang yang baru datang meletakkan
bunga di sini. Jangan pikir aku tidak mengerti apa yang kalian bicarakan. Jadi,
namanya Pak Lana? Kenapa aku baru tahu sekarang? Apa kata mereka tadi? Beliau
telah meninggal? Ya Tuhan…
***
Waktuku bersama beliau tidak lama. Ternyata beliau
mengidap penyakit sejak sebelum kami bertemu. Keluarga serta dokter sudah
menyarankan beliau untuk istrirahat di rumah. Tapi Pak Lana, dengan semangatnya
tetap memaksakan diri untuk bekerja. Jika beliau tidak bekerja hanya akan
menambah beban keluarga. Bagaimana mereka bisa makan esok hari? Begitu cerita
yang kudengar dari Sam. Keras kepala sekali beliau.
Tapi mendengar cerita itu, aku semakin terenyuh. Beliau,
bapak setua itu dan sedang mengidap penyakit, tetap bersemangat pergi bekerja.
Setiap bertemu orang-orang dijalan beliau selalu menyapa mereka. Tersenyum
memperlihatkan mulutnya yang sudah tak bergigi lagi. Ramahnya tak hanya untuk
orang yang beliau kenal. Kepada orang yang tidak beliau kenal sekalipun, beliau
tetap rajin menyapa.
Aku senang bisa bertemu dengan beliau. Pak Lana,
menularkan setiap semangatnya kepadaku, kepada Sam, dan kepada setiap orang
yang beliau temui di jalan. Kupikir hidupku yang seperti ini sulit, tapi toh
ini belum ada apa-apanya dibandingkan perjuangan Pak Lana. Bapak yang sudah
renta, sakit-sakitan, masih harus berjalan jauh sambil membawa dua kantung
hitam berat hanya untuk keluarganya. Agar mereka bisa makan esok hari.
Sederhana. Tak bisakah mereka semua yang pernah bertemu dengan beliau melihat
hal kecil itu?
Aku berterima kasih beliau menganggapku sebagai bagian
dari keluarganya. Aku tak pernah kesepian lagi ketika hari terang. Yah, sepertinya
sekarang aku mengerti apa yang dirasakan Hachiko ketika ia dengan setia
menunggu majikannya pulang. Bukan, bukan menunggu majikannya pulang. Ia sedang
menunggu keluarganya pulang. Karena hanya itu satu-satunya keluarga yang ia
miliki.
Aku senang, sekarang aku memiliki nama. Sejak kecil, aku
ingin sekali memiliki nama. Aku tidak terlalu suka ketika dipanggil dengan
panggilan pus, meong, apalagi kucing. Beliau memberiku nama. Beliau memanggilku
belang. Sekalipun itu nama yang umum, aku merasa spesial karena beliaulah yang
memberiku nama itu. Aku Si Belang, dan aku bangga akan hal itu.
Selamat jalan, Pak Lana…
Comments
Post a Comment